Selain masalah desain, Tiko juga menyoroti dua masalah lain yang dimiliki LRT Jabodebek. Pertama adalah terkait ketersediaan sistem integrator.
Dia mengatakan bahwa ada enam komponen dalam proyek LRT Jabodebek, termasuk prasarana yang disiapkan oleh PT Adhi Karya (Persero) Tbk, kereta yang disiapkan oleh PT INKA (Persero), pengembangan perangkat lunak yang ditangani oleh Siemens, sistem persinyalan oleh PT Len Industri (Persero), dan lain-lain.
Namun, Tiko menyatakan bahwa tidak ada sistem integrator dalam proyek ini, padahal seharusnya ada dalam proyek besar.
“Jadi semua komponen proyek ini berjalan sendiri-sendiri, tanpa adanya integrator di tengah-tengahnya,” katanya.
Untuk mengatasi masalah ini, dia telah membentuk project management office (PMO). Tugas PMO adalah memastikan terciptanya integrasi antar komponen.
Masalah kedua terkait spesifikasi kereta yang digunakan dalam proyek LRT. Dia pernah menerima keluhan dari Siemens karena spesifikasi kereta antara satu dengan yang lain berbeda.
“Siemens pernah mengadakan pertemuan, mengeluhkan hal ini kepada saya. Pak, software-nya naik harganya, kenapa? Spesifikasi keretanya dari INKA ini berbeda dalam dimensi, berat, dan kecepatan serta sistem pengereman. Jadi 31 kereta memiliki spesifikasi yang berbeda-beda, sehingga software-nya harus dibuat lebih fleksibel untuk mengakomodasi berbagai macam spesifikasi tersebut,” jelasnya.
Menteri PUPR Buka Suara Soal Kontroversi Desain Jembatan LRT Jabodebek di Gatot Subroto-Kuningan
Dari perbedaan pandangan ini, terlihat bahwa proyek LRT Jabodebek masih menyisakan beberapa permasalahan yang harus ditangani dengan cermat. Sebagai proyek transportasi yang strategis, penting bagi semua pihak terkait untuk bekerja sama guna memastikan kesuksesan dan keselamatan proyek ini ke depannya.
Proses evaluasi dan penyempurnaan terus menerus perlu dilakukan agar LRT Jabodebek dapat memberikan kontribusi yang maksimal bagi mobilitas dan kemajuan transportasi di wilayah Jabodetabek.