Menko Polhukam Mahfud MD menjelaskan tentang pengurangan hukuman dan syarat pemberian grasi dalam kasus hukuman mati dan penjara seumur hidup. Hal ini terkait dengan kontroversi dalam kasus Ferdy Sambo yang awalnya dijatuhi hukuman mati atas kasus pembunuhan.
Berdasarkan penjelasan Menko Polhukam, Ferdy Sambo tidak akan memperoleh remisi dalam mengurangi hukumannya, dan pilihan pengurangan hanya dapat melalui grasi yang diberikan oleh presiden.
Menko Polhukam Mahfud MD: Pengurangan Hukuman Hanya Lewat Grasi Presiden
Menurut Menko Polhukam Mahfud MD, Ferdy Sambo tidak akan menerima remisi sebagai pengurangan hukumannya, jika ia berupaya mengurangi durasi masa hukumannya. Untuk terpidana hukuman mati dan penjara seumur hidup, pengurangan hukuman hanya dapat diberikan melalui tindakan grasi yang diberikan oleh presiden.
Mahfud menjelaskan, “Jadi jika seseorang dihukum seumur hidup atau hukuman mati, remisi tidak dapat diberikan. Hanya grasi yang dapat diberikan. Itulah satu-satunya opsi yang memungkinkan.”
Penjelasan ini merujuk pada isi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan. Terpidana hukuman mati dan penjara seumur hidup tidak termasuk dalam kategori yang berhak menerima remisi.
Mahfud melanjutkan, “Konsep remisi melibatkan persentase. Persentase tersebut selalu terkait dengan angka. Oleh karena itu, hukuman mati dan penjara seumur hidup tidak dapat menerima remisi. Penjara seumur hidup tidak dapat dihitung dalam angka, dan oleh karena itu tidak memiliki persentase dalam hal remisi.”
Dalam hal mengajukan grasi, terdapat persyaratan yang harus dipenuhi. Mahfud menjelaskan bahwa salah satu syarat untuk mengajukan grasi adalah dengan mengakui kesalahan yang telah dilakukan.
“Jika seseorang mengakui kesalahannya, mengakui bahwa hukumannya pantas, namun memohon grasi, maka permohonan tersebut dapat dipertimbangkan. Namun, jika seseorang tidak mengakui kesalahan atau tidak bersedia memohon grasi, permohonan tersebut tidak akan dapat diterima. Tidak ada masalah jika seseorang mengakui kesalahannya dan ingin memohon grasi,” ungkap Mahfud.
Kisah Kontroversi Ferdy Sambo: Dari Hukuman Mati hingga Syarat Grasi
Ferdy Sambo sebelumnya telah dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Yosua Hutabarat pada tahun 2022.
Pembunuhan tersebut dilakukan oleh Ferdy Sambo bersama dengan istri Ferdy, yaitu Putri Candrawathi, serta oleh Bharada E atau Richard Eliezer, Ricky Rizal Wibowo, dan Kuat Ma’ruf. Semua pihak terbukti bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan berencana terhadap Yosua.
Ferdy Sambo tidak menerima putusan tersebut dan mengajukan banding. Namun, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menolak banding yang diajukan oleh Ferdy Sambo, sehingga vonis hukuman mati tetap berlaku.
Tidak berhenti di situ, Ferdy Sambo mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Hasilnya, hukuman mati diringankan menjadi hukuman penjara seumur hidup oleh Mahkamah Agung.
Setelah putusan kasasi dibacakan, status perkara Ferdy Sambo menjadi tetap dan tidak dapat diajukan banding lagi, sehingga hukumannya dapat segera dieksekusi.
Pengurangan Hukuman dan Syarat Grasi Menurut Menko Polhukam Mahfud MD: Kasus Ferdy Sambo
Dalam konteks hukuman mati dan penjara seumur hidup, pengurangan hukuman merupakan hal yang kompleks. Menurut penjelasan Menko Polhukam Mahfud MD, pengurangan hukuman melalui remisi tidak berlaku dalam kasus tersebut, sehingga opsi pengurangan hanya melalui grasi yang harus dipertimbangkan oleh presiden.
Pentingnya mengakui kesalahan sebagai syarat grasi juga menjadi poin krusial dalam proses ini. Kasus Ferdy Sambo menjadi ilustrasi nyata mengenai proses hukum dan pengurangan hukuman, yang tetap tunduk pada mekanisme dan regulasi yang ada.