Program Tapera, yang telah menjadi perdebatan panas di kalangan pekerja, mendapatkan sedikit harapan baru setelah pernyataan Menteri PUPR, Basuki Hadimuljono, mengenai kemungkinan penundaan. Namun, sementara harapan itu menggantung, para analis ekonomi dan pengamat menyoroti masalah yang perlu ditangani agar program ini lebih sesuai dengan kebutuhan dan harapan masyarakat.
Program Tapera: Penundaan atau Kegagalan Terbesar?
Ruang udara kini sedang disegarkan oleh kabar terkait Program Tapera. Setelah melihat protes yang terus menerus dari berbagai pihak, terutama para pekerja, mengenai rencana pelaksanaan program tersebut, pemerintah tampaknya mulai membuka diri.
Pernyataan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Basuki Hadimuljono, di Gedung DPR pada Kamis (6/6) kemarin, menunjukkan sikap ini.
Dia mengaku menyesal atas kehebohan dan kemarahan yang muncul terkait rencana pelaksanaan program tersebut.
“Saya benar-benar menyesal atas kemarahan ini,” ujarnya pada Kamis (6/6).
Mengakui bahwa dia akan menerima dengan lapang dada jika program itu perlu ditunda. Dia juga menyoroti bahwa Menteri Keuangan, Sri Mulyani, juga telah mengungkapkan kesediaannya untuk hal yang sama.
Tetapi, dia menekankan bahwa penundaan program harus dilakukan melalui proses yang sesuai dengan mekanisme yang ada, yaitu melalui DPR. Basuki menyatakan bahwa Program Tapera dijalankan oleh pemerintah berdasarkan UU Tabungan Perumahan Rakyat yang disahkan oleh pemerintah dan DPR pada tahun 2016.
“Ini sudah ada sejak tahun 2016, Menteri Keuangan telah memperoleh kepercayaan pada saat itu. Dan sekarang, kami bisa menunda hingga tahun 2027. Bagi saya pribadi, jika kita belum siap, mengapa kita harus terburu-buru?” tambahnya.
“Jadi, jika ada saran dari DPR untuk menunda, saya sudah berbicara dengan Menteri Keuangan, dan kami akan mengikuti,” lanjutnya.
Pernyataan Basuki ini dianggap sebagai angin segar dalam pelaksanaan Program Tapera oleh Direktur Ekonomi Celios Nailul Huda. Meskipun belum pasti, namun ini memberikan harapan bahwa di masa depan ada kemungkinan Program Tapera akan ditunda atau direvisi.
Semua keputusan akhirnya tergantung pada DPR dan pemerintah yang baru nanti.
“Ada kemungkinan untuk revisi. Seharusnya program ini menjadi sukarela. Namun, semuanya kembali bergantung pada menteri yang baru,” jelasnya.
Menurut Nailul, jika menteri yang baru memilih untuk melanjutkan program ini tanpa perubahan, dan DPR tidak mengindahkan penolakan, maka akan muncul protes lagi.
“Ada peluang untuk membawa masalah ini ke Mahkamah Agung untuk membatalkan seluruh isi Peraturan Pemerintah dan mengubahnya menjadi sukarela,” tambahnya.
Dia berpendapat bahwa pemerintah dan DPR memiliki waktu tiga tahun untuk mengevaluasi kembali rencana implementasi kebijakan ini, karena pelaksanaannya baru wajib pada tahun 2027.
Analisis Mendalam Mengenai Kontroversi dan Potensi Perubahan
Nailul melihat tiga poin yang harus diubah jika revisi dilakukan. Pertama, program ini seharusnya menjadi sukarela daripada wajib. Kedua, dana investasi atau tabungan yang dikumpulkan oleh pemerintah harus lebih cair. Ketiga, transparansi penggunaan dana harus lebih terbuka kepada peserta Tapera.
Sama halnya, Analis Senior dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P Sasmita, juga berharap agar Program Tapera tidak menjadi kewajiban bagi pekerja swasta dan mandiri. Jika perlu, program ini sebaiknya ditunda untuk sementara.
Tujuan utama dari program ini adalah untuk memberikan rumah yang layak dan terjangkau bagi pesertanya. Namun, bagi pekerja berpendapatan rendah, tetap sulit untuk memperoleh rumah meskipun mereka ikut dalam program Tapera.
Ronny menyebutkan bahwa meskipun dana peserta telah berkembang karena dikelola dan diinvestasikan oleh pemerintah, namun untuk mendapatkan rumah tetaplah sulit. Terlebih lagi, harga rumah terus naik setiap tahunnya.
“Jika misalnya diambil dari gaji sebesar Rp8 juta, setelah 20 tahun, diperkirakan hanya akan berkembang menjadi maksimal tiga kali lipat dari modal awal. Oleh karena itu, sangat masuk akal jika targetnya hanya rumah dengan tipe yang sangat sederhana, setelah dikurangi inflasi normal,” ujarnya.
Oleh karena itu, menurutnya, program ini seharusnya tetap terbatas untuk PNS saja. Semakin banyak peserta yang ikut, bukannya mempermudah, malah akan menjadi masalah di masa depan.
Karenanya, ia menyarankan agar pemerintah mempertimbangkan untuk menunda program Tapera terlebih dahulu. Pemerintah sebaiknya memeriksa ulang program ini secara lebih teliti dan memastikan bahwa program ini tidak memberatkan pesertanya.
“Gunakan waktu hingga 2027 untuk mempelajari dan mendesain kembali Tapera agar lebih diterima oleh masyarakat dan lebih dapat diakses oleh semua kalangan,” pungkas Ronny.
Perlunya Evaluasi Mendalam dan Kemungkinan Penundaan Program Tapera: Memastikan Manfaat yang Nyata Bagi Peserta
Dalam kesimpulan, analis ekonomi dan pengamat menekankan perlunya evaluasi mendalam terhadap Program Tapera. Mereka menyoroti bahwa kebijakan ini tidak boleh menjadi beban bagi pesertanya, terutama pekerja berpenghasilan rendah. Disarankan agar pemerintah mempertimbangkan penundaan program ini untuk memberikan waktu yang cukup untuk peninjauan ulang, memastikan program ini lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat, dan memberikan manfaat yang nyata bagi peserta.