Kenaikan harga gabah dan beras belakangan ini telah menarik perhatian Badan Pangan Nasional (Bapanas) sebagai akibat dari masuknya musim tanam gadu. Direktur Distribusi dan Cadangan Pangan Bapanas, Rahmi Widiriani, menjelaskan bahwa pergeseran siklus pertanaman padi memengaruhi harga gabah, yang pada musim gadu cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan musim rendeng atau panen raya.
Berbagai faktor kompleks, termasuk produksi beras yang menurun, pengaruh El Nino, dan dinamika global, berkontribusi pada perubahan harga beras di pasaran.
Analisis Mendalam: Faktor-Faktor Utama di Balik Lonjakan Harga Gabah dan Beras
Badan Pangan Nasional (Bapanas) melaporkan bahwa kenaikan harga gabah dan beras belakangan ini dikarenakan sedang memasuki musim tanam gadu. Menurut Rahmi Widiriani, Direktur Distribusi dan Cadangan Pangan Bapanas, harga gabah di musim tanam gadu cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan musim rendeng atau panen raya seperti pada semester 1.
Rahmi menjelaskan bahwa saat ini kita berada dalam musim gadu, dan mengacu pada siklus pertanaman padi, harga gabah di musim ini memang lebih tinggi dibandingkan dengan saat musim rendeng atau musim hujan seperti pada semester pertama. Hal ini diungkapkan dalam wawancara dengan CNBC Indonesia pada Jumat (11/8/2023).
Selain itu, Rahmi juga menekankan bahwa dalam upaya untuk memperkuat cadangan beras pemerintah (CBP), pemerintah akan membeli gabah atau beras petani dengan menggunakan harga pembelian pemerintah (HPP) dan harga komersial.
Pada saat musim gadu, petani akan mendapatkan harga yang menguntungkan, karena kualitas gabah yang baik.
Rahmi menjelaskan, “Bulog dapat melakukan pembelian dengan mekanisme komersial sesuai dengan harga pasar. Ketersediaan sarana produksi seperti pupuk dan benih berada di tahap awal. Kementerian Pertanian telah merancang program-program unggulan untuk mendukung petani.”
Pendapat serupa juga diungkapkan oleh Khudori, Pengamat Pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI). Ia menyatakan bahwa kenaikan harga beras yang terjadi baru-baru ini disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah masuknya musim tanam gadu.
Khudori menjelaskan bahwa kenaikan harga gabah atau beras pada musim tanam gadu, yang terjadi sekitar bulan Juni-September, lebih normal dibandingkan dengan musim panen raya yang berlangsung pada bulan Februari-Mei. Meskipun begitu, ia tidak bisa mengabaikan fakta bahwa harga saat ini sudah jauh melampaui harga pokok penjualan (HPP).
Ia menambahkan, “HPP gabah kering panen (GKP) dari petani adalah sekitar Rp 5.000/kg. Namun, harga di pasaran sudah jauh melebihi HPP tersebut. Harganya rata-rata sudah mencapai lebih dari Rp 6.000/kg. Bahkan ada yang sudah mencapai Rp 7.000/kg. Ini adalah kenaikan yang sangat signifikan.”
Khudori juga menyoroti bahwa sulit untuk mengidentifikasi satu penyebab tunggal dari kenaikan ini. Namun, ia berpendapat bahwa kenaikan tersebut lebih disebabkan oleh gabungan beberapa faktor daripada satu faktor tunggal.
Pergeseran Siklus Pertanaman dan Pengaruh El Nino Memainkan Peran Besar
Pertama, siklus panen sedang berada dalam musim gadu, sehingga harga gabah atau beras cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan musim panen raya. Faktor kedua adalah penurunan perkiraan produksi beras. “Penurunan perkiraan ini mengakibatkan ketidakseimbangan antara pasokan dan permintaan, yang pada akhirnya mendorong kenaikan harga,” ujarnya.
Berdasarkan data dari Kerangka Sampel Area BPS, produksi gabah kering giling (GKG) diproyeksikan sekitar 25,64 juta ton pada sembilan bulan pertama. Meskipun begitu, data untuk bulan Juli-September 2023 masih dalam bentuk proyeksi, dan jumlah tersebut mengalami penurunan dibandingkan dengan periode sembilan bulan pertama pada tahun 2022 yang mencapai 26,17 juta ton GKG.
Di sisi lain, konsumsi beras nasional pada periode yang sama (Januari-September 2023) diperkirakan meningkat menjadi sekitar 22,89 juta ton. Data dari BPS menunjukkan angka ini lebih tinggi daripada konsumsi beras selama sembilan bulan pertama tahun 2022 yang mencapai 22,62 juta ton.
Khudori menyatakan, “Jika kita melihat dengan lebih rinci, neraca beras nasional (produksi dikurangi konsumsi bulanan) mulai mengalami defisit sejak bulan Juli, Agustus, dan September 2023. Diperkirakan defisit beras selama tiga bulan tersebut mencapai 420.000 ton, setelah mengalami surplus 4,35 juta ton selama lima bulan berturut-turut pada musim rendeng atau panen raya. Surplus tersebut terjadi karena hasil panen yang sangat baik pada bulan Maret dan April, dengan produksi gabah masing-masing sekitar 8,89 juta ton dan 6,24 juta ton GKG.”
Selanjutnya, faktor ketiga adalah pengaruh El Nino. Meskipun El Nino bukanlah hal baru, namun dampaknya pada sektor pertanian cukup signifikan karena pemberitaan dan eksposur yang luas.
“Beberapa pihak memperkirakan produksi padi akan turun sekitar 1,5 juta ton GKG. Bahkan ada yang memperkirakan penurunan produksi beras mencapai 5%. Jika prediksi terakhir ini terbukti benar, itu akan menjadi penurunan yang cukup besar,” ujarnya.
Faktor keempat adalah dinamika global yang tercermin dari kebijakan negara-negara eksportir beras yang cenderung restriktif, termasuk di antaranya India.
“Impor beras dari India akan terkena dampaknya. Meskipun sebagian besar impor beras dari India adalah beras patahan (broken rice), yang sebenarnya tidak akan secara langsung terpengaruh oleh kebijakan India. Namun sentimen ini telah menyebar ke berbagai lapisan masyarakat,” tambahnya.
Dengan demikian, rangkaian berbagai faktor tersebut diyakini oleh Khudori sebagai penyebab terus meningkatnya harga gabah atau beras.
Analisis Kenaikan Harga Gabah dan Beras: Faktor-Faktor Penyebab dan Dampaknya
Dalam rangka membahas kenaikan harga gabah dan beras yang signifikan, kita dapat menyimpulkan bahwa ada beberapa faktor utama yang memengaruhi tren ini. Musim tanam gadu yang mengakibatkan produksi gabah lebih rendah dibandingkan dengan musim panen raya adalah faktor internal yang signifikan.
Penurunan produksi ini berdampak pada ketidakseimbangan antara pasokan dan permintaan, mendorong harga untuk naik. Pengaruh El Nino juga memberikan kontribusi dengan memicu penurunan produksi beras secara global. Selain itu, kebijakan restriktif dari negara-negara eksportir, terutama India, juga memiliki efek yang meluas.
Semua faktor ini bersama-sama menciptakan situasi yang menekan pasokan dan meningkatkan harga beras, yang pada gilirannya berdampak pada ekonomi dan kehidupan sehari-hari masyarakat. Dalam menghadapi tantangan ini, langkah-langkah strategis perlu diambil untuk menjaga ketersediaan beras nasional dan menjaga keseimbangan antara pasokan dan permintaan, sehingga harga dapat dikendalikan dengan lebih efektif.