Kepopuleran Shalawat Badar tergolong fenomenal. Shalawat Badar tak hanya dilafazkan oleh jamaah masjid. Para ulama, aktivis dan politisi pun mengumandangkan syair tersebut saat melawan komunisme hingga pada era reformasi. KH Ali Manshur Siddiq merupakan sosok di balik terciptanya shalawat itu.
Wakil Ketua Pengurus Pusat Lembaga Seni Budaya Muslimin Nahdlatul Ulama (PP Lesbumi NU) KH Muhammad Jadul Maula mengatakan dalam sebuah catatan abjad pegon, Kiai Ali Manshur menuliskan, Shalawat Badar ditulis sekitar tahun 1962 atau setelah Dekrit Presiden 1959 dan jelang upaya kudeta G-30 S/PKI alias Gestapu.
Menurut Kiai Jadul Maula, Kiai Ali Manshur merasa gelisah dengan situasi umat dan kebangsaan pada era tersebut. Dia pun ingin menulis shalawat itu sebagai doa. Pada catatan itu, Kiai Ali Manshur mengatakan pada malam jumat tetangganya bermimpi didatangi sekelompok orang berjubah putih. Bersamaan dengan itu, istrinya yakni Nyai Khotimah bercerita mimpi melihat Kiai Ali Manshur berangkulan dengan Rasulullah. Kiai Ali Manshur pun mendapat penjelasan dari Habib Hadi al Haddar Banyuwangi bahwa orang-orang berjubah itu adalah Ahlul Badr (para sahabat Nabi yang bertempur di perang Badar). Dari situ, Kiai Ali menulis shalawat dan menamainya Shalawat Badar.
Shalawat Badar kemudian dibacakan Kiai Ali Manshur di hadapan pamannya yakni KH Ahmad Qusyairi dan para muridnya. Beberapa waktu kemudian, para habib yang dipimpin Habib Ali bin Abdurahman Al Habsyi Kwitang datang menemuinya untuk mendiskusikan tetang situasi kebangsaan. Di tengah diskusi, Habib Ali Kwitang meminta Kiai Ali Manshur membacakan Shalawat Badar. Para habib yang bertamu pun mendengarkan, mengaminkan, meluapkan rasa haru ketika shalawat itu dibacakan. Saat itu Habib Ali Kwitang mengajak agar Shalawat Badar dipopulerkan sehingga dapat menyaingi lagu Genjer-Genjer yang dipopulerkan PKI.