Program makan siang gratis sebagai bagian dari infrastruktur sosial menuju Indonesia Emas 2045 menjadi fokus perdebatan Cawapres nomor urut 2, Gibran Rakabuming Raka. Namun, perspektif ahli menyoroti perbedaan antara konsep infrastruktur sosial dan bantuan sosial dalam konteks program ini.
Skandal Politik! Gibran Klaim Makan Siang Gratis Ubah Indonesia?
Cawapres nomor urut 2, Gibran Rakabuming Raka, mengklaim bahwa program makan siang gratis yang dia usulkan adalah bagian dari infrastruktur sosial yang akan membawa Indonesia menuju Indonesia Emas pada 2045.
Pada Debat Cawapres Pilpres 2024, ia mengatakan bahwa anggaran sebesar Rp400 triliun akan dialokasikan untuk program ini.
Namun, banyak yang mengecam program tersebut, meskipun tujuannya sebenarnya adalah untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Gibran yakin bahwa program makan siang gratis tidak hanya akan meningkatkan kualitas sumber daya manusia, tetapi juga akan memberikan efek ganda. Menurutnya, anggaran besar tersebut akan memberikan dampak positif bagi warung tegal (warteg) hingga penyedia layanan katering di berbagai daerah.
“Ini akan memberikan dorongan bagi warteg dan penyedia katering di berbagai daerah. Bayangkan Rp400 triliun mengalir ke berbagai daerah. Semua orang akan ikut memasak makan siang untuk anak-anak. Itulah yang saya maksud sebagai infrastruktur sosial yang merupakan investasi menuju Indonesia emas,” ungkapnya.
Namun, apakah benar makan siang gratis dapat dianggap sebagai bagian dari infrastruktur sosial?
Kontroversi Cawapres Nomor Urut 2 Terkait Program Sosial
Menurut Ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE), Akhmad Susamto, program makan siang gratis sebenarnya bukanlah infrastruktur sosial. Ia menjelaskan bahwa infrastruktur sosial dapat dibagi menjadi empat konteks yang berbeda.
Pertama, infrastruktur sosial dapat berhubungan dengan manusia sebagai bagian dari infrastruktur. Dalam konteks kota-kota di Selatan Global, hubungan antar manusia dan dukungan yang mereka berikan satu sama lain dapat dianggap sebagai infrastruktur.
Kedua, sosialitas yang berkembang di sekitar infrastruktur fisik. Konsep ini mengacu pada hubungan sosial yang kompleks di sekitar infrastruktur fisik seperti air, sanitasi, dan energi yang mendukung kerja jaringan teknologi yang sebaliknya rapuh.
Ketiga, infrastruktur perawatan sosial. Ini meliputi layanan yang tersedia di kota untuk menyediakan kesehatan, pendidikan, dan perawatan sosial.
Keempat, infrastruktur kehidupan sosial yang melibatkan ruang publik dan semi-publik yang mendukung interaksi sosial, seperti taman, perpustakaan, dan fasilitas serupa.
Berdasarkan empat konteks tersebut, menurut Akhmad, makan siang gratis lebih tepat dikategorikan sebagai contoh program untuk mengatasi masalah stunting dalam isu kesehatan yang termasuk dalam infrastruktur perawatan sosial.
Akhmad berpendapat bahwa Gibran mungkin tidak sepenuhnya memahami konsep infrastruktur sosial. Namun, sebagai seorang politisi, ia menyampaikan apa yang bisa dia sampaikan, terutama yang berkaitan dengan program makan siang gratis.
Hal ini juga disetujui oleh Peneliti ekonomi digital Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Nailul Huda, yang juga menyatakan bahwa makan siang gratis sebenarnya bukanlah infrastruktur sosial, melainkan lebih cenderung sebagai bantuan sosial (bansos) karena bukan berupa aset.
Nailul menjelaskan bahwa infrastruktur sosial sebenarnya lebih berkaitan dengan program-program yang meningkatkan kondisi sosial masyarakat, seperti pendidikan dan kesehatan. Oleh karena itu, status program makan siang gratis sebagai bagian dari infrastruktur sosial layak dipertanyakan karena sifatnya sebagai program, bukan aset.
Ia juga menegaskan bahwa makan siang gratis adalah program bantuan sosial yang habis pakai, dan bukan bagian dari infrastruktur sosial secara langsung.
Kontroversi Infrastruktur Sosial: Makan Siang Gratis dalam Sorotan
Akhmad Susamto menekankan bahwa makan siang gratis lebih cocok sebagai contoh program perawatan sosial, terutama dalam menangani isu kesehatan seperti stunting. Sementara Nailul Huda menegaskan bahwa infrastruktur sosial lebih terkait dengan program-program yang memperbaiki kondisi sosial masyarakat secara umum, seperti pendidikan dan kesehatan.
Hal ini menimbulkan keraguan apakah makan siang gratis seharusnya digolongkan sebagai bagian dari infrastruktur sosial atau sebagai bantuan sosial yang fokus pada program tanpa menjadi aset.