Nganjuk, Memo
Dua anak kembar, masing masing bernama Jopisyah dan Jopasyah, tak kan terpisahkan, meski reruntuhan tanah longsor merobohkan bangunan rumah di Dusun Selopura Desa Ngetos Kecamatan Ngetos Kabupaten Nganjuk. Neneknya bernama Yatemi, sebelum kejadian, ‘momong’ cucu kembarnya, berusia 6 tahun.
Jopisyah dan Jopasyah, menurut penuturan Yatemi, sudah memiliki firasat akan ada musibah. Dua anak kembar itu, sempat minta main di luar halaman dan pamitan pada neneknya, Yatemi. Nenek berusia 54 tahun itupun, hanya wanti wanti, agar saling menjaga ,” Jopisah yo le ( Jangan berpisah ya nak, red ) pesan Yatemi mewanti wanti pada dua cucunya yang kembar tersebut.
Setelah melepaskan kedua cucunya bermain di halaman depan, Yatemi masuk rumah lagi dan meneruskan pekerjaan rutinnya. Bersih bersih. Minggu hari itu, suasana memang mendung. Belum turun hujan. Sebagaimana layaknya kehidupan di desa, nenek Yatemi membersihkan dapur sambil korah korah. Korah korah dalam bahasa Jawa, adalah kegiatan membersihkan perlengkapan dapur, berupa piring dan sendok yang biasa digunakan untuk makan.
Sementara itu, anaknya bernama Fatin Zulaikha sedang sibuk membersihkan genangan air yang berada di belakang rumah. Suami Fatin juga sedang berada di belakang melakukan aktifitas rutin sebagai orang desa. Fatin Zulaikha adakah ibu kandung anak kembar, yang bernama Jopisyah dan Jopasyah. Pemandangan aktifitas keluarga yang hidup sederhana itu, memberi kesaksian terakhir selama hidupnya, sebelum tanah longsor memporak porandakan Dusun Selopuro.
Dusun Selopuro, terletak di kawasan perbukitan. Kawasan tersebut, memang rawan terjadi tanah longsor. Hampir setiap tahumn, ada saja kejadian tanah bergerak kemudian longsor, meski tidak sebesar ini. Dari kota NGanjuk, jaraknya sekitar 15 km. Desa itu merupakan satu satunya kawasan yang menjadi akses menuju obyek wisaya Air terjun Sedudo, Sawahan, Nganjuk.