Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), tengah mempertimbangkan pemberian subsidi untuk Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis RON 92 atau Pertamax. Langkah ini menjadi respons terhadap kondisi polusi udara yang semakin akut di DKI Jakarta dan sekitarnya.
Dalam konteks serupa, Malaysia telah melaksanakan subsidi untuk BBM berkualitas tinggi, menghasilkan perbandingan harga yang menarik perhatian. Artikel ini akan mengulas perkembangan terbaru seputar wacana subsidi BBM oktan tinggi di Indonesia dan perbandingannya dengan Malaysia, serta mengungkapkan implikasi dari kebijakan ini.
Perbandingan Harga BBM Oktan Tinggi: Indonesia vs. Malaysia
Pemerintah, khususnya Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), sedang mengkaji kemungkinan memberikan subsidi untuk Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis RON 92 atau Pertamax. Tujuan utamanya adalah untuk mendorong penggunaan BBM dengan oktan tinggi dan emisi rendah dalam upaya mengatasi masalah polusi udara yang serius di DKI Jakarta dan sekitarnya.
Menurut data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), salah satu penyebab utama polusi udara di DKI Jakarta adalah kendaraan bermesin bakar tinggi emisi.
Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana, mengonfirmasi bahwa pembahasan mengenai subsidi untuk Pertamax sedang berlangsung. Mereka tengah mempertimbangkan aspek teknis, regulasi, dan ekonomi sebelum mengambil keputusan.
Dadan Kusdiana menjelaskan ini dalam acara pembukaan pertemuan 41st ASEAN Ministers on Energy Meeting (AMEM) di Nusa Dua, Bali, pada Kamis (24/8/2023).
Dalam konteks masalah polusi udara di Jakarta dan sekitarnya, Dadan menyatakan bahwa pihaknya akan melakukan penelitian terhadap kendaraan yang menggunakan BBM di wilayah tersebut. Dia menyoroti pentingnya oktan tinggi dalam BBM karena dapat menghasilkan pembakaran dengan emisi yang lebih rendah.
Dalam konteks ini, perlu dicatat bahwa Malaysia telah memberikan subsidi untuk BBM berkualitas tinggi dengan nilai oktan (RON) 95, yang setara dengan Pertamax Plus yang pernah dijual oleh PT Pertamina (Persero). Akibatnya, harga BBM berkualitas tinggi di Malaysia menjadi lebih murah daripada harga BBM non-subsidi, seperti Pertamax (RON 92) di Indonesia.
Pembahasan Subsidi BBM Oktan Tinggi: Solusi Polusi Udara di Indonesia
Menurut Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, harga BBM RON 95 di Malaysia pada Desember 2022 bahkan mencapai harga di bawah Rp 10.000 per liter, lebih murah daripada Pertamax (RON 92) di Indonesia yang dijual seharga Rp 13.900 per liter pada waktu yang sama. Di Indonesia, harga BBM bersubsidi sejenis Pertalite (RON 90) dibanderol seharga Rp 10.000 per liter.
Selain subsidi untuk BBM dengan nilai oktan (RON) 95, Malaysia juga memberikan subsidi untuk Solar dengan cetan number (CN) di atas 51, yang hampir setara dengan Pertamina Dex. Di sisi lain, Indonesia memberikan subsidi dan kompensasi untuk BBM jenis bensin dengan RON 90 atau setara Pertalite, Solar subsidi (CN 48), dan minyak tanah (kerosin).
Komaidi menjelaskan bahwa harga BBM di Malaysia dihitung berdasarkan sistem Automatic Pricing Mechanism (APM), yang mengikuti perubahan harga minyak mentah dan besaran subsidi yang ditetapkan oleh pemerintah setiap minggu.
Demikianlah perkembangan terbaru mengenai wacana subsidi BBM dengan oktan tinggi di Indonesia, yang sedang dipertimbangkan oleh pemerintah untuk mengurangi polusi udara dan mendukung penggunaan BBM yang lebih ramah lingkungan.
Wacana Subsidi BBM Oktan Tinggi: Solusi Polusi Udara dan Komparasi dengan Malaysia
Dalam hal ini, perlu dicatat bahwa Malaysia telah berhasil menerapkan subsidi untuk BBM oktan tinggi dengan nilai RON 95, yang setara dengan Pertamax Plus di Indonesia. Hasilnya, harga BBM berkualitas tinggi di Malaysia jauh lebih terjangkau dibandingkan dengan harga BBM non-subsidi, seperti Pertamax (RON 92) di Indonesia.
Dengan perbandingan harga yang signifikan ini, pemberian subsidi untuk BBM oktan tinggi di Indonesia bisa menjadi langkah cerdas untuk mengatasi masalah polusi udara dan mendorong penggunaan BBM yang lebih ramah lingkungan.
Bagaimanapun, keputusan akhir dan implementasi kebijakan ini akan menjadi fokus perhatian yang besar dalam beberapa waktu ke depan, mengingat berbagai aspek teknis, regulasi, dan ekonomi yang perlu diperhitungkan.