Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 tahun 2023 tentang Devisa Hasil Ekspor (DHE) dari kegiatan pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan Sumber Daya Alam (SDA) telah diumumkan, dan akan berlaku mulai tanggal 31 Juli 2023.
Kebijakan ini mewajibkan eksportir dengan nilai ekspor hasil SDA minimal US$ 250 ribu untuk menyimpan setidaknya 30% DHE dalam sistem keuangan Indonesia selama tiga bulan.
Meskipun bertujuan untuk mengoptimalkan ekspor, aturan ini menimbulkan keberatan dari pelaku usaha yang khawatir akan dampaknya pada cashflow perusahaan.
Selain itu, terdapat kebingungan dalam tafsir antara pemerintah dan dunia usaha mengenai ruang lingkup PP ini, terutama dalam hal perkebunan dan perikanan. Diskusi mendalam antara pemerintah dan pelaku usaha menjadi krusial guna mencari solusi bersama menghadapi kebijakan baru ini.
PP Nomor 36 Tahun 2023 tentang DHE Sumber Daya Alam
Pemerintah baru-baru ini mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 tahun 2023 tentang Devisa Hasil Ekspor (DHE) dari kegiatan pengusahaan, pengelolaan dan/atau pengolahan Sumber Daya Alam (SDA). PP ini akan mulai berlaku pada tanggal 31 Juli 2023.
Isi dari PP tersebut adalah mengatur bahwa para eksportir yang nilai ekspornya dari hasil SDA mencapai minimal US$ 250 ribu wajib menyimpan minimal 30% dari DHE dalam sistem keuangan Indonesia dengan jangka waktu minimal tiga bulan.
Namun, kebijakan ini menimbulkan keberatan dari pelaku usaha karena berpotensi mengganggu arus kas perusahaan dan berakhir dengan situasi yang kurang menguntungkan.
“Jika pun PP ini tidak bisa diubah, setidaknya perlu dibicarakan secara mendalam atau dibuat petunjuk teknis yang jelas, sehingga pelaku usaha dapat memahami dan mengikutinya. Jangan sampai peraturan ini malah membuat kita tidak bisa ekspor, padahal sebelumnya kita bisa,” ujar Ketua Kebijakan Publik Apindo, Sutrisno Iwantono, kepada CNBC Indonesia (27/7/23).
Sebelum PP ini diberlakukan, Ia mengakui bahwa dunia usaha tidak pernah diajak untuk berdiskusi dalam menentukan isi aturan ini.
Ketika PP tersebut akhirnya dikeluarkan pada tanggal 12 Juli, pelaku usaha merasa belum siap karena persiapan waktu yang sangat terbatas. Begitu aturannya diberlakukan pada tanggal 31 Juli, dampaknya langsung berimbas.
Pelaku Usaha Keberatan dan Bingung Hadapi Aturan Baru
“Saat dipotong 30% dari devisa, ini mengganggu arus kas. Ada pelaku usaha yang mendapatkan keuntungan 5%, lalu dipotong 30%, otomatis cashflow-nya terganggu. Setiap bulan harus diambil 30% dari devisa, modal habis,” ujar Iwantono.
Meskipun demikian, para pelaku usaha belum menyusun angka yang ideal ketika besaran DHE sebesar 30% dirasa terlalu berat.
Oleh karena itu, diperlukan adanya ruang diskusi antara pemerintah dan dunia usaha untuk menentukan kebijakan ini. Terlebih lagi, terdapat perbedaan tafsir antara dunia usaha dan pemerintah dalam menentukan ruang lingkup PP ini.
“Di dalam PP ini diatur tentang pertambangan, perkebunan, perhutanan, dan perikanan. Namun, definisi ‘perkebunan’ perlu diperjelas, misalnya mengenai penebangan pohon dan kemudian ditanam lagi, apakah termasuk dalam SDA atau bukan? Ini merupakan tanda tanya bagi dunia usaha,” ungkap Iwantono.
“Kemudian, mengenai ‘perikanan’ apabila ada budidaya udang, kemudian dipanen, dijual, lalu dibudidayakan lagi, apakah hal tersebut dapat dianggap alamiah? Karena ada campur tangan manusia. Seperti hal ini, masih banyak hal yang membingungkan,” lanjutnya.
Dampak PP Nomor 36 Tahun 2023 tentang Devisa Hasil Ekspor pada Pelaku Usaha: Keberatan dan Kebingungan dalam Menghadapi Kebijakan Baru
Dalam menghadapi implementasi PP Nomor 36 Tahun 2023 tentang Devisa Hasil Ekspor, pelaku usaha menyuarakan keberatan terhadap kewajiban menyimpan minimal 30% DHE, yang dapat mengganggu cashflow perusahaan.
Kekhawatiran semakin meningkat karena kurangnya keterlibatan pelaku usaha dalam menyusun kebijakan ini dan kebingungan dalam interpretasi aturan. Dibutuhkan diskusi mendalam antara pemerintah dan dunia usaha untuk mencari solusi yang saling menguntungkan dan menghadapi tantangan yang muncul akibat kebijakan baru ini.