Jakarta, Memo.co.id
PT. Garuda Indonesia (Persero) terus merugi dan muncul tanda kebangkrutan bila tidak ada solusi kongkret. Hal ini tercermin dari hasil laporan keuangan Garuda Indonesia yang mencatatkan kerugian sebesar 283,7 juta USD atau sekitar Rp. 3,8 triliun. Angka tersebut meningkat hingga 200% dari kerugian pada kuartal pertama sekitar 99,0 juta USD atau setara Rp. 1,319 triliun.
Ketua Bidang Organisasi Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP HIPMI), Anggawira menyarankan ke depannya harus ada solusi komprehensif agar tidak terus merugi.
“HIPMI sebelumnya sudah memberikan early warning kepada Garuda Indonesia karena terus merugi. Ke depannya perlu ada solusi yang komprehensif agar maskapai penerbangan kebanggaan kita ini bisa survive. Kerugian tersebut disinyalir akibat peningkatan biaya operasional dan pembelian bahan bakar avtur,” ujar Ketua BPP HIPMI Bidang Organisasi, Anggawira, di Jakarta.
Ongkos operasional penerbangan Garuda Indonesia, disebutkan oleh Anggawira mencapai lebih dari dari Rp. 16 triliun lebih tinggi dari kuartal pertama sebesar Rp. 8 triliun.
“Hingga saat ini kami melihat biaya bahan bakar merupakan sumber terbesar biaya operasional dengan presentase diatas 50% kemudian disusul dengan biaya pembelian pesawat, reparasi, pembayaran asuransi yang semua dihitung menggunakan kurs dollar USD sementara produk jasa penerbangan domestiknya dijual dengan nilai rupiah,” papar Anggawira.
Tingginya ongkos operasional rupanya juga berpengaruh pada hutang Garuda Indonesia yang nilainya cukup besar. Untuk hutang jangka pendek di kuartal kedua total hutang mencapai 1,891 juta USD sedangkan hutang jangka panjang sebesar 1,163 juta USD. Sementara di kuartal sebelumnya tercatat 1,798 juta USD untuk hutang jangka pendek dan 1,174 juta USD untuk hutang jangka panjang.
“Hutang yang membelit Garuda Indonesia harus menjadi konsen pemerintah,” imbuh Anggawira.
PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk mencatat kerugian bersih (net loss) selama semester pertama 2017 sebesar US$ 283,8 juta. Di luar non-recurring expense, total kerugian bersih perseroan mencapai US$ 138 juta.