Pasca pandemi, neraca dagang antara Indonesia dan China bulanan tidak selalu mengalami defisit, bahkan terkadang mencatat surplus.
Pada Desember, selama tahun 2019-2021, defisit perdagangan dengan China biasanya mencapai hingga US$ 1 miliar. Namun, pada Desember 2022, Indonesia berhasil membukukan surplus tipis sebesar US$ 17,2 juta.
Keberhasilan ini dapat sebagian diatribusikan kepada perjanjian perdagangan bebas antara Indonesia dan China melalui ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) yang berlaku selama 10 tahun sejak 2014.
Perkembangan nilai perdagangan antara kedua negara ini terus meningkat sejak ACFTA, dari US$ 48,23 miliar pada 2014 menjadi US$ 133,6 miliar pada 2023 di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi. Meskipun demikian, defisit dengan China juga meningkat setelah periode ACFTA, mencapai puncaknya sebesar US$ 18,41 miliar pada 2018, dan kemudian mengalami penurunan setelah pandemi Covid-19, mencapai US$ 1,88 miliar pada 2022.
Melampaui ACFTA: Indonesia Catat Surplus dan Mendominasi Perdagangan dengan China Hingga 2023
Perjanjian perdagangan bebas antara Indonesia dan China melalui ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) menjadi poin kunci dalam perubahan dinamika perdagangan. Di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi, nilai perdagangan kedua negara meningkat dua kali lipat dari US$ 48,23 miliar pada 2014 menjadi US$ 133,6 miliar pada 2023.
Meskipun mengalami defisit setelah ACFTA, Indonesia berhasil mencatat surplus sebesar US$ 1,45 miliar dengan China hingga November 2023. Peningkatan ini menjadi bukti pergeseran strategis dalam hubungan perdagangan bilateral, menunjukkan Indonesia sebagai pemain kunci dalam ekonomi global.