Namun, seiring berjalannya waktu, praktek kawin tangkap mulai menyimpang dari prosedur awal yang sesuai dengan tradisi. Praktek ini kini lebih sering merugikan perempuan secara pribadi. Kawin tangkap yang terjadi belakangan membuat perempuan merasa seperti diculik, disiksa, dilecehkan, bahkan merasa hina dan tidak berharga.
Beberapa faktor yang mempengaruhi praktek kawin tangkap termasuk faktor ekonomi, seperti utang, faktor strata sosial, pendidikan, dan kepercayaan. Dalam beberapa kasus, perempuan dijadikan sebagai tebusan untuk utang keluarga.
Salah satu motif di balik kawin tangkap adalah untuk mempererat hubungan antar-keluarga, sehingga harta yang diberikan sebagai belis tidak jatuh ke tangan pihak lain. Namun, dalam banyak kasus, kawin tangkap ini dilakukan tanpa persetujuan dari keluarga perempuan.
Penting untuk dicatat bahwa praktek kawin tangkap ini melanggar hukum sebagai kasus penculikan dan dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan Pasal 328 KUHP, dengan ancaman hukuman paling lama dua belas tahun penjara.
Kejadian ini juga tidak sesuai dengan syarat perkawinan yang diatur oleh UU RI No 1 Tahun 1974 Pasal 6 ayat 1, yang menentukan bahwa perkawinan harus didasarkan pada persetujuan dari kedua calon mempelai.
Pemerintah saat ini tengah berusaha keras untuk mengakhiri praktek ini dan melindungi hak-hak perempuan. Namun, kenyataannya, tradisi ini masih berlanjut dengan dalih adat istiadat dan budaya.