Praktek kontroversial kawin tangkap yang kembali terjadi di Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur (NTT), telah menjadi perhatian utama di media sosial. Dalam sebuah video viral, kita menyaksikan adegan yang menggemparkan, di mana seorang perempuan diculik dan dipaksa menikah oleh sekelompok pria.
Namun, pemerintah dan masyarakat NTT berjuang keras untuk mengakhiri tradisi ini yang dinilai melanggar hak-hak perempuan serta hukum yang berlaku.
Kawin Tangkap di Sumba Barat Daya: Kontroversi dan Dampak Sosial
Kejadian kawin tangkap kembali terjadi di Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur, yang telah menjadi perbincangan hangat di media sosial. Berdasarkan sebuah video yang viral, adegan tersebut memperlihatkan sekelompok pria yang memaksa seorang perempuan dan membawanya pergi menggunakan mobil pikap.
Polda Nusa Tenggara Timur (NTT) telah berhasil menangkap lima orang pelaku yang terlibat dalam kejadian ini. Mereka adalah JB (45), HT (25), VS (25), LN (50), dan NM (45).
Tradisi kawin tangkap di wilayah Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur (NTT) telah menjadi perdebatan panjang belakangan ini. Tradisi ini dianggap sebagai tindakan yang melibatkan penculikan perempuan, yang berpotensi melanggar hak-hak perempuan serta hak asasi manusia.
Dalam praktek kawin tangkap, seorang perempuan seringkali diculik dan dipaksa menikah dengan alasan yang dianggap sah secara budaya. Namun, perempuan tersebut mungkin tidak pernah menginginkan pernikahan dengan pria yang “menculik”nya.
Selain itu, kawin tangkap juga bisa terjadi ketika ada kendala dalam persyaratan adat lainnya, tetapi pihak laki-laki tetap memaksa perempuan untuk menikahinya.
Menurut jurnal Sagacity, kawin tangkap adalah tradisi yang berakar kuat di masyarakat pedalaman Sumba, terutama di wilayah Kodi dan Wawewa. Praktek ini merupakan bagian dari tradisi nenek moyang mereka yang telah berlangsung turun-temurun hingga saat ini.
Dalam tradisi lama masyarakat Sumba, kawin tangkap biasanya dilakukan oleh keluarga mempelai pria yang kesulitan membayar mahar yang tinggi kepada keluarga perempuan. Kawin tangkap ini termasuk dalam kategori perkawinan tanpa adanya proses peminangan, yang terjadi karena belum adanya kesepakatan mengenai jumlah belis atau mas kawin.
Awalnya, dalam tradisi ini, seorang perempuan akan dihias dan persiapkan secara khusus. Pria yang akan menjadi mempelai juga akan mengenakan pakaian adat dan menaiki seekor kuda.
Kemudian, perempuan tersebut akan diculik dan dibawa ke rumah keluarga mempelai pria. Tradisi ini unik karena melibatkan nama baik kedua keluarga, terutama mengingat latar belakang keluarga yang terlibat.
Langkah-langkah Menuju Penghapusan Kawin Tangkap di NTT
Setelah perempuan diculik, pihak laki-laki akan memberikan sebilah parang dan seekor kuda kepada keluarga perempuan sebagai tanda permohonan maaf dan sebagai tanda bahwa perempuan tersebut telah berada di rumah keluarga pria.
Namun, seiring berjalannya waktu, praktek kawin tangkap mulai menyimpang dari prosedur awal yang sesuai dengan tradisi. Praktek ini kini lebih sering merugikan perempuan secara pribadi. Kawin tangkap yang terjadi belakangan membuat perempuan merasa seperti diculik, disiksa, dilecehkan, bahkan merasa hina dan tidak berharga.
Beberapa faktor yang mempengaruhi praktek kawin tangkap termasuk faktor ekonomi, seperti utang, faktor strata sosial, pendidikan, dan kepercayaan. Dalam beberapa kasus, perempuan dijadikan sebagai tebusan untuk utang keluarga.
Salah satu motif di balik kawin tangkap adalah untuk mempererat hubungan antar-keluarga, sehingga harta yang diberikan sebagai belis tidak jatuh ke tangan pihak lain. Namun, dalam banyak kasus, kawin tangkap ini dilakukan tanpa persetujuan dari keluarga perempuan.
Penting untuk dicatat bahwa praktek kawin tangkap ini melanggar hukum sebagai kasus penculikan dan dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan Pasal 328 KUHP, dengan ancaman hukuman paling lama dua belas tahun penjara.
Kejadian ini juga tidak sesuai dengan syarat perkawinan yang diatur oleh UU RI No 1 Tahun 1974 Pasal 6 ayat 1, yang menentukan bahwa perkawinan harus didasarkan pada persetujuan dari kedua calon mempelai.
Pemerintah saat ini tengah berusaha keras untuk mengakhiri praktek ini dan melindungi hak-hak perempuan. Namun, kenyataannya, tradisi ini masih berlanjut dengan dalih adat istiadat dan budaya.
Mengakhiri Praktek Kontroversial Kawin Tangkap di Sumba Barat Daya: Tantangan dan Langkah-langkah Menuju Perubahan
Tantangan besar muncul dalam upaya mengakhiri praktek kawin tangkap yang telah mengakar dalam budaya Sumba. Faktor ekonomi, sosial, dan kepercayaan memainkan peran penting dalam mempertahankan tradisi ini. Namun, perlu diingat bahwa kawin tangkap melanggar hukum, dan pelakunya dapat dikenai sanksi pidana.
Dalam era modern ini, penting untuk memastikan bahwa hak-hak perempuan dilindungi dan praktek-praktek yang merugikan individu tidak dibiarkan berlanjut. Pemerintah dan masyarakat NTT terus berupaya untuk mengakhiri tradisi ini dan memastikan bahwa perkawinan didasarkan pada persetujuan kedua belah pihak, sesuai dengan hukum yang berlaku.