Example floating
Example floating
EKONOMI

Dibalik Kilau Ekspor, Kenyataan Kelam di Industri Hilirisasi Nikel

×

Dibalik Kilau Ekspor, Kenyataan Kelam di Industri Hilirisasi Nikel

Sebarkan artikel ini
Dibalik Kilau Ekspor, Kenyataan Kelam di Industri Hilirisasi Nikel
Dibalik Kilau Ekspor, Kenyataan Kelam di Industri Hilirisasi Nikel
Example 468x60

MEMO

Program hilirisasi mineral, terutama nikel, yang digaungkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk meningkatkan nilai tambah sumber daya alam Indonesia dan kesejahteraan masyarakat, mendapat sorotan kritis. Meskipun mencatat peningkatan signifikan dalam nilai ekspor, kebijakan ini menimbulkan perdebatan terkait dampak lingkungan, keterlibatan tenaga kerja asing, dan distribusi manfaat kepada masyarakat lokal.

Dalam konteks ini, kritik dari berbagai pihak, seperti Muhaimin Iskandar alias Cak Imin, dan analisis dari para ahli memberikan pandangan yang beragam terhadap pelaksanaan hilirisasi mineral di Tanah Air.

Pencapaian dan Kritik Program Hilirisasi Mineral

Program hilirisasi mineral, khususnya nikel, selalu menjadi fokus Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam rangka memberikan nilai tambah kepada sumber daya alam Indonesia dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Jokowi telah menyatakan bahwa sebelum dilakukan hilirisasi, nilai ekspor hanya mencapai US$2,1 miliar atau sekitar Rp30 triliun per tahun.

Namun, setelah dimulainya kebijakan hilirisasi pada tahun 2020, nilai tambah melonjak menjadi US$33,8 miliar atau sekitar Rp510 triliun.

Dengan peningkatan nilai ekspor tersebut, Jokowi meyakini bahwa pendapatan negara dari pajak pertambahan nilai (PPN), pajak penghasilan (PPh) perusahaan, royalti, dan penerimaan negara bukan pajak akan ikut meningkat. Meskipun demikian, kebijakan hilirisasi sering kali mendapat kritikan, terutama dalam debat jelang Pemilu 2024.

Dalam debat terbaru, cawapres nomor urut 1, Muhaimin Iskandar atau Cak Imin, mengkritik pelaksanaan hilirisasi sebagai tindakan yang ugal-ugalan. Menurutnya, hilirisasi merusak lingkungan dan lebih menguntungkan pekerja asing.

Cak Imin juga menyebut bahwa proyek hilirisasi telah menelan korban jiwa akibat kecelakaan kerja di smelter atau tempat pemurnian.

Menanggapi kritik tersebut, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, mengundang Cak Imin untuk melihat langsung proyek hilirisasi di Indonesia, seperti Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Maluku Utara atau Morowali di Sulawesi Tengah. Luhut meyakini bahwa setelah mengunjungi lokasi tersebut, Cak Imin akan memiliki pandangan yang berbeda.

Luhut mengakui adanya tenaga kerja asing (TKA) dalam proyek hilirisasi, tetapi menyebutkan bahwa jumlahnya hanya sekitar 10-15 persen dari total tenaga kerja. Hal ini diakui sebagai kebutuhan karena Indonesia belum memiliki sumber daya manusia yang mampu melakukan pekerjaan khusus di sektor mineral.

Luhut meyakinkan bahwa pemerintah telah memberikan pelatihan kepada tenaga kerja Indonesia, dan jumlah TKA akan terus berkurang seiring berjalannya waktu.

Pandangan Cak Imin dan Ahli Energi terhadap Program Hilirisasi

Meskipun Luhut berpendapat bahwa hilirisasi telah berdampak positif pada kesejahteraan masyarakat sekitar, beberapa pihak, termasuk Pengamat Energi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, berpendapat bahwa hilirisasi ala Jokowi belum sempurna.

Fahmy menilai bahwa sebagian besar nilai tambah hilirisasi justru dinikmati oleh investor China, sementara lapangan pekerjaan yang diciptakan tidak signifikan untuk warga lokal.

Fahmy juga menyoroti dampak buruk lingkungan akibat hilirisasi, dengan pencemaran lingkungan dan bencana yang merugikan masyarakat setempat. Dia menekankan perlunya pemerintah menarik insentif fiskal yang diberikan kepada investor asing dan memastikan keterlibatan lebih banyak pekerja lokal dalam proyek hilirisasi.

Muhammad Andri Perdana, Peneliti dari Center of Economic and Law Studies (Celios), juga menyampaikan pandangan kritis terhadap hilirisasi, menyebutnya sebagai tindakan serampangan dan merugikan masyarakat serta lingkungan.

Ia menyoroti insiden kecelakaan kerja di beberapa smelter yang menelan korban jiwa, seraya mengkritik perlakuan terhadap pekerja lokal dan pembebasan lahan yang terkesan sembrono.

Dalam konteks ini, Ronny P Sasmita, Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution, menekankan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan hilirisasi nikel. Ia berpendapat bahwa meskipun mayoritas pelaku industri hilirisasi adalah asing, pemerintah perlu merumuskan strategi untuk mengurangi keterlibatan asing dan memastikan transfer teknologi serta keuntungan lebih merata kepada Indonesia.

Secara umum, sejumlah kritik dan perbedaan pandangan muncul terkait kebijakan hilirisasi mineral di Indonesia, menyoroti aspek-aspek seperti dampak lingkungan, kontribusi pada kesejahteraan masyarakat lokal, dan pemberdayaan sumber daya manusia Indonesia.

Evaluasi menyeluruh dan keterlibatan berbagai pihak diharapkan dapat memperbaiki dan mengoptimalkan pelaksanaan kebijakan tersebut.

Dilema Hilirisasi Mineral: Tantangan, Kontroversi, dan Panggilan Evaluasi Mendalam

Meskipun pemerintah menyatakan kesuksesan hilirisasi dengan peningkatan nilai ekspor, kritik terus mengemuka. Pengamat Energi, Fahmy Radhi, menyoroti bahwa sebagian besar nilai tambah justru dinikmati oleh investor China, sementara lapangan pekerjaan yang dihasilkan tidak signifikan.

Keberpihakan terhadap pemodal asing, insiden kecelakaan kerja yang merenggut nyawa, dan dampak lingkungan yang terabaikan menjadi sorotan. Analisis menyeluruh perlu dilakukan untuk memastikan bahwa hilirisasi mineral memberikan manfaat optimal kepada Indonesia dan masyarakatnya.

 

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.