Dibalik Kilau Ekspor, Kenyataan Kelam di Industri Hilirisasi Nikel

Dibalik Kilau Ekspor, Kenyataan Kelam di Industri Hilirisasi Nikel
Dibalik Kilau Ekspor, Kenyataan Kelam di Industri Hilirisasi Nikel

MEMO

Program hilirisasi mineral, terutama nikel, yang digaungkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk meningkatkan nilai tambah sumber daya alam Indonesia dan kesejahteraan masyarakat, mendapat sorotan kritis. Meskipun mencatat peningkatan signifikan dalam nilai ekspor, kebijakan ini menimbulkan perdebatan terkait dampak lingkungan, keterlibatan tenaga kerja asing, dan distribusi manfaat kepada masyarakat lokal.

Bacaan Lainnya

Dalam konteks ini, kritik dari berbagai pihak, seperti Muhaimin Iskandar alias Cak Imin, dan analisis dari para ahli memberikan pandangan yang beragam terhadap pelaksanaan hilirisasi mineral di Tanah Air.

Pencapaian dan Kritik Program Hilirisasi Mineral

Program hilirisasi mineral, khususnya nikel, selalu menjadi fokus Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam rangka memberikan nilai tambah kepada sumber daya alam Indonesia dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Jokowi telah menyatakan bahwa sebelum dilakukan hilirisasi, nilai ekspor hanya mencapai US$2,1 miliar atau sekitar Rp30 triliun per tahun.

Namun, setelah dimulainya kebijakan hilirisasi pada tahun 2020, nilai tambah melonjak menjadi US$33,8 miliar atau sekitar Rp510 triliun.

Dengan peningkatan nilai ekspor tersebut, Jokowi meyakini bahwa pendapatan negara dari pajak pertambahan nilai (PPN), pajak penghasilan (PPh) perusahaan, royalti, dan penerimaan negara bukan pajak akan ikut meningkat. Meskipun demikian, kebijakan hilirisasi sering kali mendapat kritikan, terutama dalam debat jelang Pemilu 2024.

Dalam debat terbaru, cawapres nomor urut 1, Muhaimin Iskandar atau Cak Imin, mengkritik pelaksanaan hilirisasi sebagai tindakan yang ugal-ugalan. Menurutnya, hilirisasi merusak lingkungan dan lebih menguntungkan pekerja asing.

Cak Imin juga menyebut bahwa proyek hilirisasi telah menelan korban jiwa akibat kecelakaan kerja di smelter atau tempat pemurnian.

Menanggapi kritik tersebut, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, mengundang Cak Imin untuk melihat langsung proyek hilirisasi di Indonesia, seperti Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Maluku Utara atau Morowali di Sulawesi Tengah. Luhut meyakini bahwa setelah mengunjungi lokasi tersebut, Cak Imin akan memiliki pandangan yang berbeda.

Luhut mengakui adanya tenaga kerja asing (TKA) dalam proyek hilirisasi, tetapi menyebutkan bahwa jumlahnya hanya sekitar 10-15 persen dari total tenaga kerja. Hal ini diakui sebagai kebutuhan karena Indonesia belum memiliki sumber daya manusia yang mampu melakukan pekerjaan khusus di sektor mineral.

Luhut meyakinkan bahwa pemerintah telah memberikan pelatihan kepada tenaga kerja Indonesia, dan jumlah TKA akan terus berkurang seiring berjalannya waktu.

Pandangan Cak Imin dan Ahli Energi terhadap Program Hilirisasi

Meskipun Luhut berpendapat bahwa hilirisasi telah berdampak positif pada kesejahteraan masyarakat sekitar, beberapa pihak, termasuk Pengamat Energi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, berpendapat bahwa hilirisasi ala Jokowi belum sempurna.

Pos terkait