Kontroversi mengelilingi program food estate di Indonesia, dengan calon wakil presiden Muhaimin Iskandar (Cak Imin) dan Mahfud MD yang kompak mengkritiknya. Sementara cawapres Gibran Rakabuming Raka dan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman membela program tersebut.
Dalam sorotan ini, kita akan membahas sejauh mana keberhasilan dan kegagalan proyek food estate serta pemikiran Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) terkait implementasinya.
Kontroversi Food Estate
Calon wakil presiden (cawapres) nomor satu, Muhaimin Iskandar (Cak Imin), dan cawapres nomor tiga, Mahfud MD, dengan satu suara mengkritik program food estate atau lumbung pangan. Cak Imin berpendapat bahwa program tersebut merugikan petani dan dapat memicu konflik agraria, sehingga sebaiknya dihentikan.
Sementara itu, Mahfud menyebut program food estate sebagai kegagalan yang merusak lingkungan dan dapat merugikan negara.
Gibran Rakabuming Raka, cawapres nomor dua, mengakui adanya kegagalan dalam program food estate. Namun, ia juga menekankan bahwa ada bagian dari program tersebut yang berhasil dan sudah mengalami sukses panen.
Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman, juga membantah kritikan tersebut. Menurutnya, beberapa food estate sedang berjalan dengan baik dan sesuai target, bahkan sudah mengalami panen.
Amran memberikan contoh food estate di Temanggung dan Wonosobo, Jawa Tengah, yang telah berhasil panen komoditas hortikultura seluas 907 hektare. Dia juga mencatat keberhasilan food estate di Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur, yang sudah panen jagung seluas 500 hektare.
“Food estate ini bukan proyek instan, butuh proses. Kenyataannya kita memiliki 10 juta hektare yang sebelumnya tidak dimanfaatkan untuk lahan pertanian. Kami sekarang menggarap itu, butuh proses, butuh teknologi agar menjadi lahan produktif,” jelas Amran.
Kritik Terhadap Program Food Estate
Terkait definisi food estate, proyek ini merupakan bagian dari kebijakan pemerintah untuk mengembangkan pangan secara terintegrasi. Program ini merupakan bagian dari Program Strategis Nasional (PSN) 2020-2024 yang digagas oleh Presiden Joko Widodo.
Food estate dipimpin oleh mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto.
Proyek food estate menjadi salah satu proyek prioritas strategis sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 108 Tahun 2022 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2023, dengan anggaran sekitar Rp235,46 miliar.
Proyek ini dimulai pada 2020 di Provinsi Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, dan Nusa Tenggara Timur, dengan rencana pengembangan hingga tahun 2024.
Namun, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai bahwa food estate di Kalimantan Tengah yang terbengkalai menambah daftar panjang kegagalan proyek lumbung pangan pemerintah. Walhi berpendapat bahwa program food estate, sejak masa Presiden Soeharto, tidak pernah sukses.
Uli Arta Siagian dari Walhi menyoroti kegagalan food estate di Kalimantan Tengah, terutama di lahan gambut, yang cenderung tidak sesuai dengan karakteristik tanah, menyebabkan banyak kegagalan dalam proyek ini.
Walhi menyarankan agar pemerintah lebih mempercayakan pengelolaan lahan kepada masyarakat lokal, yang lebih memahami jenis tanaman yang cocok untuk ditanam di daerah tersebut. Menurut Walhi, memberikan ruang kepada masyarakat untuk beraktivitas pertanian pangan akan lebih baik daripada mengubah lahan menjadi konsesi ekstraktif seperti food estate.
Food Estate di Indonesia: Sukses atau Gagal?
Dalam upaya mengatasi potensi krisis pangan di tengah pandemi, pemerintah Indonesia meluncurkan program food estate sebagai bagian dari Program Strategis Nasional (PSN) 2020-2024. Meskipun beberapa food estate telah berhasil, terdapat kritikan terutama dari Walhi yang menilai adanya kegagalan, seperti yang terjadi di Kalimantan Tengah.
Keberlanjutan program ini menjadi fokus perdebatan, dengan pihak-pihak yang mendukung dan menentang. Sebuah pertanyaan besar muncul: apakah food estate mampu mencapai tujuannya sebagai lumbung pangan nasional ataukah menjadi proyek yang lebih banyak gagal?