“Menolak untuk merekam datanya merupakan hak yang dilindungi oleh Undang-Undang,” kata Wahyudi.
Dengan masih adanya masalah terkait face recognition ini, Wahyudi berharap agar penggunaannya dihentikan. Salah satu masalah yang diangkat adalah ketidakseimbangan antara penggunaan untuk verifikasi dan autentikasi dengan penggunaan biometrik.
“Menurut pendapat saya, saya meminta, atau lebih tepatnya mendesak kepada KAI untuk sementara waktu menghentikan penggunaan face recognition ini,” jelasnya.
Bukan hanya itu, Wahyudi juga meminta KAI untuk menghapus semua data rekam wajah yang telah dikumpulkan sebelumnya. Langkah selanjutnya adalah memberikan pemberitahuan kepada mereka yang telah mendaftar sebelumnya.
Jika KAI tetap ingin melanjutkan penggunaan face recognition, lebih baik bekerja sama dengan Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri, yang memiliki data masyarakat termasuk rekam wajah.
“Jika KAI ingin melanjutkan inovasi ini dengan menggunakan face recognition, sebaiknya bekerja sama dengan Dukcapil. Artinya, tidak perlu lagi melakukan proses pendaftaran rekam wajah, cukup merujuk pada data face recognition yang sudah dimiliki oleh Dukcapil,” ujar Wahyudi.
Dengan begitu, KAI tidak perlu lagi menyimpan data rekam wajah penumpang. Pihak KAI hanya perlu memverifikasi hasil scan foto dengan data yang tersimpan di Dukcapil.
“Mereka sekarang menyimpan data rekam wajah. Wajah kita difoto dan direkam, kemudian disimpan oleh mereka. Jika ada interoperabilitas, yang menyimpan data hanya Dukcapil, sedangkan KAI tidak menyimpan data tersebut,” tambahnya.
Perlindungan Data Pribadi dan Kebijakan Penggunaan Face Recognition: Pandangan Wahyudi Djafar dan Usulan Solusi bagi KAI
Ketidakpahaman masyarakat terhadap teknologi Face Recognition, terutama terkait kebijakan pemrosesan data menjadi fokus utama yang diungkap oleh Wahyudi Djafar dari Elsam. Selain itu, ketidakjelasan terkait kebijakan privasi KAI terkait penggunaan face recognition menimbulkan kekhawatiran akan perlindungan data.
Wahyudi menekankan perlunya perlindungan dan persetujuan penggunaan data biometrik sesuai dengan UU Pelindungan Data Pribadi. Ia juga menyoroti hak menolak untuk merekam data yang diatur dalam undang-undang tersebut.
Selain itu, Wahyudi mendesak KAI untuk menghentikan sementara penggunaan face recognition, menghapus data rekam wajah yang telah dikumpulkan, dan mengusulkan kerja sama dengan Dukcapil guna meminimalisir penyimpanan data wajah oleh KAI.
Kesimpulan dari pandangan Wahyudi adalah perlunya peninjauan kembali kebijakan penggunaan teknologi face recognition oleh KAI demi melindungi privasi dan hak data pribadi masyarakat.