Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai syarat usia calon presiden dan wakil presiden telah menimbulkan perdebatan dan sorotan publik. Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), Jimly Asshiddiqie, mengungkapkan keprihatinannya terhadap perbedaan pandangan dalam dissenting opinion oleh hakim konstitusi Arief Hidayat dan Saldi Isra.
Artikel ini mengulas tantangan etika yang dihadapi oleh MK dalam menghadapi permasalahan internal serta menyoroti peran dissenting opinion dalam proses pengambilan keputusan. Simak kesimpulan artikel ini untuk pemahaman lebih lanjut.
Perbedaan Pendapat dalam Putusan MK: Tantangan Etika dan Internal
Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), Jimly Asshiddiqie, mengungkapkan bahwa hakim konstitusi Saldi Isra dan Arief Hidayat tidak mampu menghadapi permasalahan internal di dalam MK.
Hal ini terlihat dari pandangan yang berbeda (dissenting opinion) yang mereka sampaikan dalam putusan kasus nomor 90/PUU-XXI/2023 mengenai syarat usia minimum calon presiden dan wakil presiden.
Jimly menyatakan, “Baik Profesor Arief maupun Profesor Saldi sepertinya tidak mampu menghadapi masalah internal. Hal ini tercermin dalam pandangan hukum yang mereka sampaikan.” Jimly menjelaskan pendapat bahwa permasalahan tersebut menjadi alasan beberapa pihak melaporkan Arief dan Saldi atas dugaan pelanggaran etika hakim kepada MKMK.
Pelapor berpendapat bahwa keduanya lebih banyak melibatkan pernyataan yang emosional saat menyampaikan dissenting opinion.
Selain dalam dissenting opinion, Jimly juga menyebutkan bahwa dalam beberapa wawancara dengan media, Arief juga menunjukkan ketidakmampuannya dalam menghadapi permasalahan internal di MK. Menurutnya, tradisi penyampaian dissenting opinion yang baik perlu dibangun.
Jimly menyatakan, “Yang diperdebatkan adalah dissenting opinion, bukan isinya. Isinya lebih seperti curhat. Hal ini adalah sesuatu yang baru. Bagaimana kita seharusnya membangun tradisi dissenting opinion agar tidak berlebihan,” katanya.
Pentingnya Membangun Tradisi Dissenting Opinion yang Etis di MK
MK menjadi sorotan setelah mengeluarkan putusan mengenai syarat usia calon presiden dan wakil presiden. MK menambahkan bahwa calon presiden dan wakil presiden dapat berusia di bawah 40 tahun, asalkan mereka pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah. Putusan tersebut disetujui oleh tiga hakim, yaitu Anwar Usman, Guntur Hamzah, dan Manahan Sitompul.
Sementara dua hakim lainnya, yakni Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic, menyampaikan alasan yang berbeda (concurring opinion). Mereka menginginkan ketentuan yang lebih spesifik, yaitu hanya gubernur yang berhak mendaftar meskipun belum berusia 40 tahun.
Di sisi lain, tiga hakim konstitusi lainnya, Arief Hidayat, Saldi Isra, Wahiduddin Adams, dan Suhartoyo menolak dan menyampaikan dissenting opinion.
Putusan ini menuai banyak sorotan karena dianggap akan mempermudah anak sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, yang belum berusia 40 tahun, untuk maju sebagai calon presiden di Pilpres tahun 2024.
Setelah putusan tersebut, Gibran resmi mendaftar sebagai cawapres dari Prabowo Subianto dan tetap menjalankan jabatannya sebagai Walikota Solo.
Tantangan Etika dalam Putusan MK Terkait Syarat Usia Capres-Cawapres
Perdebatan seputar putusan MK yang memungkinkan calon presiden dan wakil presiden di bawah usia 40 tahun telah memunculkan pertanyaan penting tentang etika di dalam MK. Ketidaksetujuan dalam dissenting opinion oleh hakim konstitusi Arief Hidayat dan Saldi Isra menunjukkan tantangan dalam mempertahankan kesatuan pandangan di antara anggota MK.
Jimly Asshiddiqie, Ketua MKMK, merasa perlunya membangun tradisi dissenting opinion yang lebih baik untuk menghindari curahan emosi yang berlebihan. Artikel ini menggarisbawahi pentingnya menjaga etika dan integritas dalam proses pengambilan keputusan di MK, sebuah lembaga yang sangat berpengaruh dalam sistem hukum Indonesia.