NGANJUK,MEMO.CO.ID –
Setiap musim kemarau panjang tiba adalah tantangan berat bagi kaum agraris di dua wilayah kecamatan yang tergolong rawan kekeringan. Yaitu Kecamatan Lengkong dan Kecamatan Jatikalen.
Problem air masih menjadi momok yang menakutkan bagi pahlawan swasembada pangan ini. Tak heran peristiwa gagal panen hingga mengakibatkan kerugian besar terus menghantui mereka (petani,red).
Lagi lagi dinas pertanian daerah berdalih karena faktor alam maka tidak perlu ikut campur problem petani. ” Dalih seperti itu klasik dan bukan rahasia umum lagi,” terang Sunaryo anggota dewan dari komisi lV DPRD Nganjuk.
Pemerintah daerah semestinya lebih berfikir logis bagaimana mencari formula tentang dampak ekonomi dan sosial yang dihadapi ketika mengalami gagal panen. ” Termasuk peningkatan sarana pertanian harus masuk skala prioritas,” ujar politisi dari PDI Perjuangan.
Gambaran sekilas masih ditegaskan Sunaryo bahwa dengan sulitnya mendapatkan air dan meningkatknya peristiwa gagal panen semestinya pemerintah daerah turun tangan . ” Beri solosinya jangan hanya menjadi data laporan rutin dari PPL,” ungkapnya.
Ulasan itu ada benarnya. Dengan musim kemarau ini banyak petani harus banting tulang kerja ekstra keras hanya untuk menyelamatkan tanamanya. Ironisnya guru petani yaitu PPL justru tidak memberi jalan keluar secara standar teknis ilmu pertanian.
Seperti potret kesenjangan kaum agraris di Desa Ketandan Kecamatan Lengkong,Nganjuk. Untuk terhindar dari ancaman gagal panen, para petani harus memeras tenaga mencari air dengan mengandalkan sumber mata air dari sumur gali.
Persediaan air sumber inipun seperti dikatakan Sutarno bukan satu satunya solosi yang bisa meringankan beban petani akan ancaman gagal panen. Pasalnya menurut petani asal Desa Ketandan ini tidak akan mencukupi. ” Sedoyo petani ten mriki ngandalaken setunggal sumur. Sagete cekap kedah giliran,” ucapnya dengan logat jawa.
Pemandangan yang memprehatinkan saat wartawan melihat secara langsung bagaimana perjuangan keras kakek berumur hampir 70 tahun ini mengairi tanaman jagungnya yang masih berumur tiga minggu.
Dengan alat dua timba plastik untuk tempat air dan bambu untuk pikulannya, si kakek ini berjalan diatas pematang sawah dengan memikul beban dua timba berisi air untuk digunakan menyiram tanaman jagungnya.
Bisa dibayangkan dengan terik panas seperti ini ,air siraman yang diambilnya dari sumur gali akan cepat mengering. ” Mergi tenogo sepuh dados geh sak kiate mawon,” imbuhnya.
Perlu diketahui potret kesengsaraan petani seperti itu akibat dua waduk ( sumberkepuh dan lohgawe) mengering. Itu terjadi sejak dua bulan terakhir atau saat memasuki musim kemarau.(adi)