MEMO, Jakarta: Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Indonesia menyoroti kontroversi terkait penggunaan Kartu Keluarga (KK) sebagai pengganti KTP Elektronik (e-KTP) dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
Bawaslu RI menekankan pentingnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI untuk mengutamakan persyaratan e-KTP bagi pemilih yang masuk Daftar Pemilih Tetap (DPT).
Dalam pandangan Bawaslu, kebijakan KPU yang mengizinkan pemilih tanpa e-KTP menggunakan KK berpotensi menimbulkan kerawanan dan penyalahgunaan.
Perdebatan ini mencerminkan perbedaan interpretasi terhadap Undang-Undang Pemilu dan putusan Mahkamah Konstitusi terkait penggunaan KK dan surat keterangan (suket) dalam pemilihan.
Konflik Interpretasi Undang-Undang: Apakah Penggunaan KK sebagai Pengganti KTP dalam Pemilu 2024 Sesuai?
Bawaslu Indonesia menekankan pentingnya KPU Indonesia untuk menerapkan persyaratan KTP elektronik (e-KTP) bagi pemilih yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2024.
Pernyataan tegas ini menyoroti kebijakan KPU yang memperbolehkan 4.005.275 pemilih yang belum memiliki e-KTP menggunakan Kartu Keluarga (KK) untuk memberikan suara.
“Lihatlah, KK merupakan dokumen administrasi kependudukan, tetapi KTP adalah dokumen administrasi kependudukan yang juga berfungsi untuk memverifikasi hak pilih seseorang. Bagaimana mungkin KK yang tidak memiliki foto bisa dianggap setara dengan KTP yang memiliki foto? Bagaimana cara memastikan bahwa penggunaannya tidak disalahgunakan?” ujar Pelaksana Harian Ketua Bawaslu RI, Lolly Suhenty, saat diwawancarai oleh wartawan di Jakarta pada hari Senin (10/7/2023).
Lolly juga menyinggung aturan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, khususnya Pasal 384 ayat 1 dan Pasal 384 angka 9.
“Undang-undang tersebut menyebutkan bahwa e-KTP adalah syarat untuk memberikan suara. Oleh karena itu, KPU seharusnya menggunakan istilah yang sama dengan undang-undang untuk Pemilu 2019,” tambah Lolly.