Memo.co.id
Perkembangan teknologi dan kemajuan internet telah memberikan dampak besar pada industri buku. Banyak orang sekarang lebih memilih membaca buku secara digital melalui perangkat elektronik seperti tablet atau e-reader. Kemudahan akses, penghematan ruang, dan kepraktisan adalah beberapa alasan mengapa buku digital semakin populer.
Selain itu, kemunculan platform-platform pembelian dan peminjaman buku online seperti e-commerce dan layanan langganan membaca (subscription) semakin mengubah cara orang mendapatkan dan mengonsumsi buku. Dengan hanya beberapa klik, buku-buku dapat diunduh atau dikirim langsung ke perangkat pembaca.
Perubahan preferensi pembaca ini juga mempengaruhi kondisi toko buku fisik. Toko-toko buku yang dulu menjadi tempat favorit untuk membeli dan menjelajahi buku-buku terbaru kini semakin sepi pengunjung. Persaingan dengan platform online yang menawarkan harga yang lebih murah, diskon, dan pengiriman yang cepat membuat toko buku tradisional semakin terpinggirkan.
Senjakala toko buku yang dulu menjadi tempat bertemunya para pencinta buku mengingatkan kita pada perubahan zaman. Meskipun hal ini bisa dianggap sebagai perkembangan yang tidak terhindarkan, namun bagi beberapa orang yang masih menggemari buku fisik, kehilangan toko-toko buku tradisional adalah sebuah kerugian.
Dulu, ketika masih sering berkendara di sekitar daerah Kramat, terdapat empat toko buku yang selalu menjadi tempat kunjungan rutin:
- Toko Buku Ahlussunnah. Toko ini memiliki koleksi buku terjemahan dari penerbit-penerbit Salafi yang terbilang cukup lengkap. Selain itu, pelayanan ramah dari pemilik toko membuatnya sangat mengesankan.
- Toko Buku milik Buyung. Lokasinya tidak jauh dari Toko Buku Ahlussunnah, dengan harga buku yang relatif lebih terjangkau. Meskipun sering melihat-lihat koleksi terbaru di Ahlussunnah, biasanya pembelian buku dilakukan di Toko Buku Buyung.
- Toko Buku Walisongo. Dulu, toko ini memiliki koleksi buku GIP dan Pustaka Al-Kautsar yang lengkap. Saya biasa membeli majalah Hidayatullah dan majalah Muhammadiyah (nama lengkapnya lupa) di sini. Selain itu, biasanya saya juga menyempatkan diri untuk beribadah sholat di Masjid Al-A’raf yang memiliki keunikan tersendiri.
- Toko Buku Gunung Agung. Toko ini termasuk salah satu toko buku besar yang memiliki suasana nyaman, bahkan pada saat itu mampu menyaingi Gramedia. Koleksi buku-buku Islam di toko ini cukup banyak, bahkan lebih banyak daripada di Gramedia.
Namun, kabar terakhir yang beredar menyebutkan bahwa Toko Buku Gunung Agung akan menutup semua outletnya. Sementara itu, Toko Buku Walisongo juga sudah tidak aktif dalam waktu yang cukup lama. Saya kurang tahu mengenai dua toko buku lainnya, semoga masih bertahan dan tetap aktif. Hal ini menandakan bahwa era buku fisik sedang mengalami masa kejatuhan.
Keberadaan toko buku tidak hanya sebagai tempat untuk membeli buku, tetapi juga sebagai tempat untuk berkumpul, berdiskusi, dan mendapatkan pengalaman yang berbeda dalam mengeksplorasi dunia literatur.
Tentu saja, tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan teknologi dan digitalisasi membawa berbagai keuntungan, seperti kemudahan akses informasi dan pembelajaran yang lebih luas. Namun, tetap penting untuk menghargai nilai dan keberadaan buku fisik. Keindahan halaman yang bisa dibalik, aroma kertas yang khas, dan kehadiran buku sebagai benda yang dapat disentuh adalah pengalaman yang sulit digantikan oleh buku digital.
Senjakala toko buku ini mengingatkan kita akan perubahan yang terus bergerak dalam dunia literasi. Sementara buku fisik mungkin mulai kehilangan popularitasnya, kecintaan terhadap membaca dan kegiatan literasi tetap harus dijaga. Mari kita terus menghargai dan mendukung dunia buku, baik dalam bentuk fisik maupun digital, agar kehidupan literasi tetap hidup dan berkembang di tengah arus modernisasi yang terus bergerak maju.