Usai meninggalnya Ratu Ageng pada 1803, Pangeran Diponegoro, yang saat itu berusia 18 tahun merasakan kesedihan luar biasa.
Peter Carey Peter Carey dalam Kuasa Ramalan (tiga jilid) menjelaskan, dua tahun kemudian sang pangeran memutuskan untuk berkelana, keluar dari lingkungan istana. Dia hendak menjalani pengembaraan spiritual agar lepas dari kungkungan duniawi.
Pangeran Diponegoro mulai mengunjungi masjid-masjid dan pesantren-pesantren di kawasan Yogyakarta demi mendalami ilmu-ilmu agama. Atas saran Syekh al-Ansari, Pangeran Diponegoro memakai nama baru, yakni Syekh Ngabdurrahim.
Pangeran Diponegoro juga mencukur rambutnya agar tidak tampil mencolok di tengah para santri desa. Hal ini dipahami sebagai upaya sang pangeran agar dapat diterima dan akrab dengan mereka.
Sebab, menurut norma keraton Jawa saat itu, pria ningrat dikenali dari rambutnya yang panjang. Tidak hanya itu, dia juga menanggalkan pakaian kebangsawanannya.
Pangeran Diponegoro lebih sering tampil dengan busana khas kaum santri abad ke-19, yakni baju putih, serban penutup kepala, dan sarung. Beberapa daerah pusat santri yang dikunjunginya terletak di selatan Keraton Yogyakarta. Di antaranya adalah Gading, Sewon, Wonokromo, Jejeran, Turi, Kasongan, dan Dongkelan.
Tahap selanjutnya, Diponegoro melakukan khalwat. Aktivitas ini bertujuan agar dirinya sepi dari pamrih duniawi. Babad Diponegoro menyebutkan, dalam masa ini, Sang Pangeran dikatakan berjumpa dengan penampakan Sunan Kalijaga di Gua Song Kamal, Jejeran, Yogya selatan.