Dengan keindahan alamnya yang menakjubkan, Gunung Fuji di Jepang telah menarik jutaan pengunjung setiap tahunnya. Namun, popularitasnya yang melonjak telah mengakibatkan masalah serius. Dalam artikel ini, kami akan membahas dampak dari peningkatan jumlah pengunjung Gunung Fuji, tantangan ekologis, dan upaya yang dilakukan pihak berwenang untuk menjaga kelestarian warisan ini.
Popularitas Memuncak, Tapi Harga yang Harus Dibayar untuk Gunung Fuji?
Dengan jumlah pengunjung yang mencapai jutaan setiap tahunnya, Gunung Fuji di Jepang tidak lagi memiliki ketenangan seperti masa lalu. Kini, pihak berwenang di Jepang merasa khawatir dengan lonjakan jumlah pengunjung yang mendaki gunung berapi ini baik pada siang maupun malam hari.
Kegiatan mendaki di Gunung Fuji pada siang dan malam hari dianggap sebagai tindakan yang berbahaya dan merusak ekosistem. Sebagaimana dilaporkan oleh AFP pada Jumat (8/9), Gubernur wilayah setempat menyatakan, “Gunung Fuji menangis.”
Gunung Fuji memiliki nilai penting dalam agama setempat dan sering menjadi inspirasi bagi seniman-seniman Jepang. Pada tahun 2013, UNESCO bahkan mengakui Gunung Fuji sebagai salah satu Warisan Dunia.
Namun, seperti halnya tempat-tempat indah lainnya di seluruh dunia, pengakuan ini ternyata juga membawa dampak negatif. Jumlah pengunjung meningkat lebih dari dua kali lipat antara tahun 2012 dan 2019, mencapai 5,1 juta kunjungan, yang sebagian besar berlokasi di Prefektur Yamanashi, titik awal pendakian utama ke Gunung Fuji.
Bukan hanya pada siang hari, bahkan pada malam hari pun terjadi antrian panjang saat pendakian untuk menyaksikan matahari terbit di pagi hari. Seluruh rute pendakian dipenuhi oleh pengunjung yang membawa obor.
Titik awal pendakian hanya dapat dicapai melalui taksi atau bus yang memakan beberapa jam perjalanan dari Tokyo, yang berjarak sekitar 100 kilometer (60 mil).
Saat pengunjung tiba di titik awal, mereka disambut dengan berbagai kompleks restoran dan toko suvenir yang menjual berbagai barang cenderamata dan makanan ringan serta minuman untuk para pendaki sebelum mereka memulai perjalanan mendaki.
Untuk memenuhi kebutuhan listrik dan air, mereka menggunakan generator diesel dan ribuan liter air yang harus diangkut menggunakan truk. Truk-truk ini juga bertanggung jawab untuk mengangkut semua sampah dari area Gunung Fuji.
Seorang pendaki Jepang bernama Yuzuki Uemura, yang berusia 28 tahun, mengeluhkan banyaknya sisa makanan dan botol minuman kosong yang berserakan di sekitar area cuci tangan di toilet.
Tantangan Ekologis dan Solusi Jangka Panjang yang Dicari
Seorang pejabat setempat, Masatake Izumi, mengatakan bahwa jumlah pengunjung yang tinggi di Gunung Fuji meningkatkan risiko kecelakaan. Ia mengungkapkan bahwa beberapa pendaki yang mendaki pada malam hari mengalami hipotermia dan harus dilarikan ke pusat pertolongan pertama.
Sejauh ini, setidaknya satu orang telah meninggal di Gunung Fuji selama musim pendakian ini. Untuk mendapatkan akses ke Gunung Fuji, pengunjung dapat membeli buklet dalam Bahasa Jepang dengan biaya opsional sebesar 1.000 yen atau sekitar Rp104 ribu, yang juga menyertakan kode QR untuk versi Bahasa Inggris. Buklet ini berisi panduan tentang aturan dan larangan selama berada di kawasan Gunung Fuji.
Namun, banyak pengunjung yang tidak menyadari betapa sulitnya perjalanan mendaki Gunung Fuji yang memakan waktu lima hingga enam jam, di mana tingkat oksigen lebih rendah dan cuaca dapat berubah dengan cepat. Seorang pendaki berusia 30 tahun asal Malaysia, Rasyidah Hanan, mengatakan bahwa kondisinya seperti musim dingin saat turun dari puncak, sangat dingin, dan beberapa pendaki terlihat tidak siap dengan pakaian yang tipis.
Dengan meningkatnya jumlah wisatawan kembali ke tingkat sebelum pandemi Covid-19, keprihatinan tidak hanya terbatas pada Gunung Fuji saja, tetapi juga mencakup lokasi-lokasi wisata lainnya di Jepang yang mengalami “kepadatan dan pelanggaran etiket,” seperti yang disebut oleh Kenji Hamamoto, pejabat senior Badan Pariwisata Jepang.
Untuk mengatasi masalah ini, pihak berwenang mengumumkan bulan lalu bahwa mereka akan menerapkan tindakan pengendalian massa jika jalur pendakian terlalu ramai. Meskipun jumlah pengunjung diperkirakan akan sedikit menurun tahun ini dibandingkan dengan tahun 2019, namun pada tahun 2024, jumlah tersebut kemungkinan akan meningkat lagi seiring dengan kembalinya wisatawan, terutama dari China.
Gubernur Yamanashi, Kotaro Nagasaki, menyatakan bahwa Jepang harus mengambil tindakan untuk memastikan bahwa Gunung Fuji tetap mempertahankan statusnya sebagai Warisan Dunia UNESCO. Salah satu solusi yang diajukan adalah membangun sistem kereta api ringan untuk menggantikan jalan utama yang saat ini digunakan oleh para pendaki.
“Kami sangat yakin bahwa dalam konteks pariwisata Gunung Fuji, peralihan dari pendekatan berbasis kuantitas ke pendekatan berbasis kualitas sangatlah penting,” ujar Nagasaki.
Kemacetan di Gunung Fuji: Ancaman Terhadap Kelestarian dan Solusi Menghadapinya
Saat Gunung Fuji semakin ramai dikunjungi, masalah kepadatan pengunjung dan pelanggaran etiket semakin nyata. Pemerintah Jepang berupaya keras untuk menangani tantangan ini, termasuk menerapkan tindakan pengendalian massa jika diperlukan.
Mereka juga mempertimbangkan solusi jangka panjang, seperti pembangunan sistem kereta api ringan untuk mengurangi tekanan pada jalan utama menuju Gunung Fuji. Gubernur Yamanashi, Kotaro Nagasaki, menegaskan bahwa peralihan dari pendekatan berbasis kuantitas ke pendekatan berbasis kualitas adalah kunci untuk memastikan kelestarian Gunung Fuji sebagai Warisan Dunia UNESCO.
Dengan upaya bersama, semoga Gunung Fuji dapat terus dinikmati oleh generasi mendatang tanpa mengorbankan kelestarian alamnya.