“Pertemuan agama bisa menjadi cara untuk menunjukkan koeksistensi sipil bahwa meskipun memiliki budaya yang berbeda, bahasa yang berbeda, agama yang berbeda, kami lebih mampu duduk dan berbicara daripada kebanyakan politisi, yang pada akhirnya lebih banyak berbicara tentang apa yang membedakan mereka, daripada apa yang bisa mempersatukan kita,” jelasnya.
Lamin Mane, seorang Muslim asal Senegal, yang menjadi sukarelawan dalam kegiatan itu, bersyukur dengan adanya kegiatan ini.
“Setiap hari ada lebih banyak orang yang datang ke sini untuk makan malam dan semua orang bersyukur, karena jika kita tidak punya uang kita bisa datang untuk makan di sini tanpa masalah, saya tidak melihat ada masalah dengan saya sebagai seorang Muslim dan Anda seorang Kristen, tidak sama sekali.”
Hafid Oubrahim, seorang pria keturunan Maroko yang menghadiri iftar di Gereja Santa Anna berpendapat sama. “Kami semua sama, tidak ada masalah sama sekali. Kami semua bersaudara, kami menghormati mereka dan mereka menghormati kami,” jelasnya.
Muhammad Khattabi, seorang jurnalis asal Maroko, memiliki pandangan yang lebih dalam.
“Seperti yang kami katakan sebelumnya, ini adalah gereja, gereja untuk Yesus, tetapi ini adalah rumah Tuhan seperti semua rumah-rumah Tuhan bagi agama-agama lain. Masjid atau gereja, semuanya adalah rumah Tuhan, dan inilah sebabnya kita harus sangat menghormati tempat-tempat ini karena itu adalah rumah Tuhan tempat doa kepada Yesus dilakukan,” jelasnya.
“Dan itulah mengapa kami bangga dengan tempat ini seperti kami bangga dengan masjid-masjid. Dan kami berterima kasih kepada Faouzia Chati atas semua yang dilakukannya dan kami bersyukur dan bahagia di bulan Ramadan ini, alhamdulillah,” imbuh Khattabi. ( ed )