Kiai Mojo yang memiliki nama asli Muslim Muhamad Halifah, salah satu sosok penting dalam Perang Jawa atau lebih dikenal Perang Diponegoro pada 1825-1830. Bahkan, Kiai Mojo diberi kepercayaan sebagai Panglima oleh Pangeran Diponegoro dalam perang yang berlangsung lima tahun itu.
Dalam catatan sejarah, perang Diponegoro salah satu perang yang sangat merepotkan Belanda karena menguras sumber daya, baik material maupun imaterial. Pasukan Diponegoro sangat tangguh dengan taktik perang gerilya sehingga sulit dipatahkan. Belanda akhirnya mengeluarkan segala upaya dan akal bulusnya untuk mengulik apa rahasia di balik ketangguhan pasukan Pangeran Diponegoro.
Dikisahkan, untuk mengetahui rahasia itu, pemimpin perang Belanda mengirim mata-mata ke markas pasukan Pangeran Diponegoro di Goa Selarong. Intel yang menyusup masuk tidak lain adalah orang pribumi. Hasil amatan mata-mata diungkapkan bahwa sosok paling berperan penting dalam perang tersebut adalah Kiai Mojo. Dialah sosok hebat, orang kepercayaan Pangeran Diponegoro yang menjadi otak pengatur strategi dalam perang setengah dekade itu.
Lahir dari keturunan bangsawan (1782), -ibu bernama R.A Mursilah adik Sultan Hamengkubuwono III dan ayah bernama Iman Abdul Ngarip seorang ulama besar dari Keraton Surakarta dengan sebutan Kyai Baderan- membuat Kiai Mojo tumbuh dalam tradisi keagamaan yang kuat.
Ilmu agamanya semakin sempurna ketika mendapat kesempatan belajar di Mekah. Selain memahami Al-Qur’an dengan sangat sempurna, Kiai Mojo juga menguasai sejarah dan manuskrip-manuskrip Arab. Tidak hanya menguasai ilmu agama dan sejarah, Kiai Mojo juga memiliki kemampuan berorganisasi.