PT Kalbe Farma Tbk (Kalbe) menyoroti temuan dari Asia Pacific Journal of Clinical Nutrition (APJCN) yang menunjukkan bahwa prevalensi intoleransi laktosa pada anak-anak di Indonesia berbeda berdasarkan usia. Untuk anak usia 3 hingga 5 tahun, prevalensinya mencapai 21,3 persen, sedangkan pada kelompok usia 6 hingga 11 tahun, angkanya meningkat menjadi 57,8 persen.
Data ini menunjukkan bahwa banyak anak bisa mengalami intoleransi laktosa, namun sering kali ada kebingungan antara intoleransi laktosa dan alergi susu. Penting bagi orang tua untuk memahami perbedaan antara keduanya agar dapat memberikan penanganan yang tepat. Penanganan yang tepat dapat mencegah masalah ini menghambat perkembangan anak.
Menurut dr. Dewi Virdianti Pangastuti, Medical Marketing Manager Kalbe Nutritionals, dalam sebuah sesi Instagram Live @ptkalbefarmatbk, intoleransi laktosa merupakan kondisi di mana tubuh tidak dapat mencerna laktosa dengan baik. Laktosa adalah jenis karbohidrat yang ditemukan dalam susu sapi dan memerlukan enzim laktase untuk proses pencernaan. Pada individu dengan intoleransi laktosa, enzim laktase tidak memadai atau tidak ada, sehingga laktosa tidak dapat dicerna dengan baik.
Intoleransi laktosa terbagi menjadi dua jenis: primer dan sekunder. Intoleransi laktosa primer terjadi karena produksi enzim laktase menurun seiring bertambahnya usia atau karena faktor genetik. Biasanya kondisi ini baru muncul setelah anak memasuki usia remaja. Sedangkan intoleransi laktosa sekunder sering terjadi pada anak-anak sebagai akibat dari penyakit lain seperti diare atau infeksi usus, yang mengganggu produksi enzim laktase.
“Jika enzim laktase tidak ada atau tidak berfungsi dengan baik, maka tubuh tidak dapat mencerna laktosa dari susu. Akibatnya, anak dapat mengalami gejala seperti diare dan kembung. Kondisi ini juga bisa terjadi pada bayi, terutama bayi prematur yang sistem pencernaannya belum sempurna,” jelas dr. Dewi Virdianti.