Teknologi Carbon Capture & Storage (CCS) di Indonesia dinilai tidak efektif dalam menangani pemanasan global. Diskusi hangat setelah pertanyaan dalam debat Cawapres memunculkan sorotan terhadap keefektifan teknologi ini.
CCS di Indonesia Dinilai Mahal dan Berisiko Tanpa Manfaat Nyata
Menurut Greenpeace Indonesia, penerapan teknologi Carbon Capture & Storage (CCS) di Indonesia tidak efektif dalam mengatasi pemanasan global dengan mengurangi emisi CO2 ke atmosfer. Perbincangan seputar CCS tengah hangat diperbincangkan setelah calon wakil presiden Gibran Rakabuming menanyakan hal ini kepada Mahfud MD dalam debat Cawapres pada Jumat (22/12) malam.
Iqbal Damanik, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, menyatakan bahwa ada beberapa kendala dalam menerapkan CCS ini. Menurutnya, CCS melibatkan penyimpanan gas buang dari industri, pabrik, atau PLTU, yang kemudian ditangkap menggunakan teknologi dan disimpan dalam tangki gas khusus.
Gas buang ini bisa disuntikkan ke wilayah off-shore untuk mengambil minyak dan gas alam sebelum kembali disuntikkan.
Namun, Iqbal menyoroti beberapa masalah yang muncul terkait teknologi ini. CCS dianggap mahal, membutuhkan transportasi yang panjang, dan memiliki tingkat keberbahayaan yang tinggi. Ia mengungkapkan kekhawatiran akan biaya yang besar serta risiko jangka panjang yang berbahaya, mirip dengan risiko dalam transportasi migas yang rentan terhadap kebocoran atau ledakan meskipun telah menggunakan teknologi canggih.
Greenpeace Indonesia: CCS Bukan Solusi Krisis Iklim, Hanya Bisnis
Iqbal juga mengemukakan bahwa proses transportasi ini memerlukan waktu yang cukup lama. Contohnya, biaya yang mahal dan risiko keamanan yang tinggi jika gas buang dari PLTU di Jateng atau Banten dibawa ke wilayah off-shore di luar Indonesia.
Ia berpendapat bahwa Indonesia sebaiknya lebih memprioritaskan pemeliharaan hutan daripada menerapkan teknologi CCS yang dianggap tidak efektif. Iqbal merujuk pada pembicaraan para pemimpin internasional dalam Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa 2023 di Dubai, dimana penerapan teknologi CCS masih menjadi perdebatan tanpa titik temu yang jelas.
Menurut Iqbal, negara-negara di Eropa juga belum berhasil sepenuhnya meng-capture emisi melalui teknologi CCS. Hal ini tercermin dalam diskusi di COP 28 Dubai yang tidak menghasilkan kesepakatan karena dianggap tidak efektif. Sehingga, para pemimpin lebih fokus pada mitigasi emisi daripada teknologi CCS.
Percakapan seputar CCS menjadi sorotan setelah Gibran Rakabuming Raka bertanya kepada Mahfud MD dalam Debat Cawapres (22/12) tentang regulasi CCS. Respons Mahfud terbilang umum, lebih menitikberatkan pada proses penyusunan regulasi secara keseluruhan tanpa menjelaskan secara spesifik mengenai CCS.
Greenpeace Indonesia juga menyoroti CCS sebagai solusi palsu yang tidak akan menyelesaikan krisis iklim. Mereka menilai bahwa CCS hanya merupakan trik industri batu bara dan minyak bumi untuk tetap meraih keuntungan tanpa mempertimbangkan kerusakan lingkungan Bumi kita.
CCS di Indonesia: Mahal, Berisiko, dan Tidak Efektif dalam Tangani Krisis Iklim
Penerapan CCS di Indonesia menjadi sorotan karena dinilai tidak hanya mahal, tetapi juga membawa risiko tinggi dalam transportasi gas buang. Hal ini memunculkan kekhawatiran akan biaya besar serta ancaman jangka panjang yang berbahaya, serupa dengan risiko dalam transportasi migas.
Greenpeace Indonesia juga menyoroti CCS sebagai solusi palsu yang tidak akan menyelesaikan krisis iklim, menyebutnya sebagai trik industri untuk tetap meraih keuntungan tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan.