Industri baja di Eropa memiliki peran krusial dalam perekonomian karena terkait erat dengan berbagai sektor industri seperti otomotif, konstruksi, elektronik, dan energi terbarukan.
Dampak Ekonomi dan Kontroversi Larangan Ekspor Bijih Nikel
Menurut The European Steel Association (EUROFER), industri besi dan baja menempati peringkat ketiga dalam hal nilai produksinya dibandingkan dengan sektor lain, mencapai 132 juta euro pada tahun 2020.
Bara menyatakan bahwa saat ini permintaan ekspor stainless steel Indonesia ke Eropa sedang meningkat. Namun, dengan adanya BMAD dan BMP, kerugian yang mungkin dialami Indonesia dalam setahun bisa mencapai 40 juta euro atau sekitar Rp569,1 miliar.
Selain masalah BMAD, Uni Eropa juga menggugat Indonesia terkait larangan ekspor bijih nikel yang diberlakukan sejak tahun 2020. Padahal, bijih nikel merupakan bahan baku penting dalam pembuatan baja.
Indonesia, sebagai negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia, menghentikan ekspor bijih nikel mentah dan berupaya untuk meningkatkan nilai tambah ekonomi dari logam ini. Namun, tindakan ini menimbulkan protes dari Uni Eropa.
Eropa menilai bahwa larangan ekspor bijih nikel oleh Indonesia telah meningkatkan harga nikel di pasar global, yang berdampak buruk bagi Uni Eropa dan negara lain yang menggunakan nikel sebagai bahan baku.
Uni Eropa sudah mengajukan konsultasi melalui WTO pada tahun 2019 dan setelah tidak ada kesepakatan, mereka akhirnya mengajukan gugatan pada tahun 2021. Meskipun panel WTO menyatakan bahwa tindakan Indonesia tidak sesuai dengan aturan WTO dan memenangkan gugatan tersebut, Indonesia kemudian mengajukan banding pada Desember 2022.
Pemerintah Indonesia Melalui WTO Gugat Uni Eropa Terkait Bea Masuk Baja Nirkarat dan Ekspor Bijih Nikel
Permintaan ekspor stainless steel Indonesia ke Eropa tengah meningkat, namun dengan pemberlakuan BMAD dan BMP, kerugian yang dapat dialami Indonesia dalam setahun diperkirakan mencapai 40 juta euro atau sekitar Rp569,1 miliar.
Selain itu, gugatan terkait larangan ekspor bijih nikel juga menjadi perhatian. Meskipun panel WTO awalnya menyatakan tindakan Indonesia tidak sesuai dengan aturan WTO, Indonesia mengajukan banding pada Desember 2022.
Tantangan terbesar dalam gugatan ini adalah bagaimana menangani dampak ekonomi yang mungkin terjadi pada Indonesia akibat kebijakan tarif dan larangan ekspor yang diberlakukan oleh Uni Eropa.