Pemerintah Indonesia telah resmi mengajukan gugatan ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terhadap Uni Eropa terkait penerapan bea masuk antidumping pada baja nirkarat dan larangan ekspor bijih nikel.
Gugatan ini menjadi respons terhadap tarif tambahan yang diberlakukan Uni Eropa atas impor baja Indonesia serta kebijakan larangan ekspor bijih nikel yang telah dilakukan Indonesia sejak tahun 2020.
Gugatan Pemerintah Indonesia terkait Bea Masuk Baja Nirkarat
Pemerintah Indonesia telah mengajukan gugatan terhadap Uni Eropa ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terkait penerapan bea masuk antidumping (BMAD) pada baja nirkarat atau stainless steel. Bara Krishna Hasibuan, Staf Khusus Menteri Perdagangan Bidang Perjanjian Internasional, menyampaikan bahwa gugatan terkait tambahan tarif bea masuk tersebut telah resmi diajukan pemerintah ke WTO.
Bara mengungkapkan hal ini saat berada di Timika, Papua Tengah, seperti yang dikutip dari Antara pada Minggu (13/12).
Baja nirkarat seringkali dikenal sebagai stainless steel, bahan yang banyak digunakan dalam pembuatan peralatan dapur, peralatan medis, dan mesin-mesin berat.
Kronologi dari gugatan ini dimulai ketika Uni Eropa memberlakukan bea masuk penyeimbang (BMP) atau countervailing duty pada baja nirkarat yang berasal dari India dan Indonesia.
Bea masuk penyeimbang yang dikenakan pada Indonesia sebesar 21 persen dan pada India sebesar 7,5 persen. Kemudian, Uni Eropa juga memberlakukan BMAD pada Indonesia dengan tarif antara 10,2 hingga 31,5 persen mulai tahun 2021.
Alasan di balik pemberlakuan bea masuk tambahan oleh Eropa adalah tuduhan bahwa Indonesia menerima subsidi dari pemerintah China karena adanya perusahaan baja Tiongkok yang beroperasi di Indonesia.
Bea masuk antidumping merupakan biaya tambahan yang dikenakan oleh negara pada barang impor yang dijual dengan harga lebih rendah dari harga normalnya. Hal ini sering dilakukan sebagai upaya untuk melindungi industri dalam negeri.
Uni Eropa adalah produsen baja terbesar kedua di dunia setelah China. Lima anggota Uni Eropa yang menjadi produsen baja terkemuka meliputi Jerman, Italia, Perancis, Spanyol, dan Polandia.
Industri baja di Eropa memiliki peran krusial dalam perekonomian karena terkait erat dengan berbagai sektor industri seperti otomotif, konstruksi, elektronik, dan energi terbarukan.
Dampak Ekonomi dan Kontroversi Larangan Ekspor Bijih Nikel
Menurut The European Steel Association (EUROFER), industri besi dan baja menempati peringkat ketiga dalam hal nilai produksinya dibandingkan dengan sektor lain, mencapai 132 juta euro pada tahun 2020.
Bara menyatakan bahwa saat ini permintaan ekspor stainless steel Indonesia ke Eropa sedang meningkat. Namun, dengan adanya BMAD dan BMP, kerugian yang mungkin dialami Indonesia dalam setahun bisa mencapai 40 juta euro atau sekitar Rp569,1 miliar.
Selain masalah BMAD, Uni Eropa juga menggugat Indonesia terkait larangan ekspor bijih nikel yang diberlakukan sejak tahun 2020. Padahal, bijih nikel merupakan bahan baku penting dalam pembuatan baja.
Indonesia, sebagai negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia, menghentikan ekspor bijih nikel mentah dan berupaya untuk meningkatkan nilai tambah ekonomi dari logam ini. Namun, tindakan ini menimbulkan protes dari Uni Eropa.
Eropa menilai bahwa larangan ekspor bijih nikel oleh Indonesia telah meningkatkan harga nikel di pasar global, yang berdampak buruk bagi Uni Eropa dan negara lain yang menggunakan nikel sebagai bahan baku.
Uni Eropa sudah mengajukan konsultasi melalui WTO pada tahun 2019 dan setelah tidak ada kesepakatan, mereka akhirnya mengajukan gugatan pada tahun 2021. Meskipun panel WTO menyatakan bahwa tindakan Indonesia tidak sesuai dengan aturan WTO dan memenangkan gugatan tersebut, Indonesia kemudian mengajukan banding pada Desember 2022.
Pemerintah Indonesia Melalui WTO Gugat Uni Eropa Terkait Bea Masuk Baja Nirkarat dan Ekspor Bijih Nikel
Permintaan ekspor stainless steel Indonesia ke Eropa tengah meningkat, namun dengan pemberlakuan BMAD dan BMP, kerugian yang dapat dialami Indonesia dalam setahun diperkirakan mencapai 40 juta euro atau sekitar Rp569,1 miliar.
Selain itu, gugatan terkait larangan ekspor bijih nikel juga menjadi perhatian. Meskipun panel WTO awalnya menyatakan tindakan Indonesia tidak sesuai dengan aturan WTO, Indonesia mengajukan banding pada Desember 2022.
Tantangan terbesar dalam gugatan ini adalah bagaimana menangani dampak ekonomi yang mungkin terjadi pada Indonesia akibat kebijakan tarif dan larangan ekspor yang diberlakukan oleh Uni Eropa.