Badan iklim Eropa, Copernicus, baru saja mengumumkan bahwa rentetan rekor suhu panas global selama 13 bulan berturut-turut berakhir pada Juli 2024, seiring dengan selesainya fenomena El Nino. Meskipun suhu rata-rata bulan Juli tidak mencapai angka tertinggi yang tercatat pada tahun sebelumnya, para ilmuwan menegaskan bahwa ancaman perubahan iklim tetap signifikan. Suhu global tetap berada di level yang jauh di atas rata-rata masa pra-industri, menunjukkan bahwa tren pemanasan global masih berlanjut.
Mengapa Suhu Global Masih Tinggi Meski Rekor Panas Berakhir
Badan iklim Eropa, Copernicus, baru-baru ini mengumumkan bahwa rentetan 13 bulan berturut-turut dengan rekor suhu panas telah berakhir pada bulan Juli lalu, seiring dengan selesainya fenomena El Nino. Meskipun suhu rata-rata global pada Juli 2024 tidak melampaui suhu panas bulan Juli tahun lalu, para ilmuwan menekankan bahwa akhir dari rekor ini tidak mengubah bahaya yang ditimbulkan oleh krisis iklim.
Wakil Direktur Copernicus, Samantha Burgess, menegaskan dalam sebuah pernyataan pada hari Jumat (9/8) bahwa konteks iklim global tetap sama. “Iklim kita terus mengalami pemanasan,” ujar Burgess.
Menurut data Copernicus, suhu rata-rata global pada Juli 2024 tercatat pada 16,91 derajat Celsius. Meskipun angka ini menunjukkan peningkatan sebesar 0,68 derajat Celsius dibandingkan rata-rata suhu bulan Juli selama 30 tahun terakhir, suhu bulan ini sedikit lebih rendah dibandingkan bulan Juli tahun lalu. Meskipun demikian, Juli 2024 tetap tercatat sebagai bulan Juli terpanas kedua dan termasuk dalam daftar bulan terpanas secara keseluruhan. Bumi juga mengalami dua hari dengan suhu tertinggi dalam catatan sejarah, yaitu pada 22 dan 23 Juli, dengan suhu rata-rata mencapai sekitar 17,1 derajat Celsius.
Menurut catatan Copernicus, suhu global sepanjang bulan lalu lebih tinggi 1,48 derajat Celsius dibandingkan dengan masa pra-industri. Angka ini mendekati batas pemanasan yang disepakati dalam perjanjian iklim Paris 2015, yaitu 1,5 derajat Celsius.
Julien Nicolas, ilmuwan iklim senior di Copernicus, menjelaskan bahwa fenomena El Nino yang memicu rekor suhu panas selama 13 bulan berturut-turut kini telah berakhir. Fenomena ini, yang secara alami menghangatkan Samudera Pasifik dan memengaruhi cuaca global, menyebabkan suhu pada bulan Juli kemarin sedikit menurun. Meski begitu, Copernicus mencatat bahwa tren pemanasan global masih berlanjut. Menurut Nicolas, kondisi iklim saat ini tidak jauh berbeda dari tahun lalu.
El Nino Berakhir, Namun Pemanasan Global Terus Berlanjut
Nicolas menambahkan bahwa suhu permukaan laut global yang terus berada pada tingkat rekor atau mendekati rekor selama lebih dari setahun terakhir berkontribusi signifikan terhadap suhu ekstrem ini. “Pendorong utama di balik rekor suhu ini juga merupakan tren pemanasan jangka panjang yang secara langsung berkaitan dengan akumulasi gas rumah kaca di atmosfer, termasuk karbon dioksida dari pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak, dan gas alam,” jelasnya.
Beberapa wilayah mengalami dampak yang cukup parah akibat suhu tinggi pada bulan Juli. Di Kanada bagian barat dan Amerika Serikat bagian barat, suhu ekstrem menyebabkan sepertiga populasi AS menghadapi peringatan panas berbahaya. Di Eropa selatan dan timur, kementerian kesehatan Italia mengeluarkan peringatan panas ekstrem untuk beberapa kota, sementara Yunani terpaksa menutup situs bersejarah Acropolis karena suhu yang sangat tinggi. Di Perancis, yang tengah menyelenggarakan Olimpiade Paris 2024, sebagian besar wilayah juga mengalami peringatan suhu panas.
Benua lain seperti Afrika dan Asia tidak terlepas dari dampak pemanasan ini. Sebagian besar wilayah Afrika, Timur Tengah, dan Asia, serta Antartika bagian timur, mengalami suhu yang jauh di atas rata-rata. Para ilmuwan mencatat bahwa kondisi ini akan terus memburuk karena kurangnya tindakan untuk mengatasi masalah perubahan iklim.
Gavin Schmidt, ahli iklim dan direktur Goddard Institute for Space Studies, menyatakan bahwa meskipun metodologi perhitungan dapat menghasilkan hasil yang sedikit berbeda, tren pemanasan global tetap berlanjut. “Penting untuk diingat bahwa meskipun bulan Juli ini mungkin tidak memecahkan rekor, suhu tahun ini dan tahun lalu tetap jauh lebih hangat dibandingkan dengan tahun 1980-an atau masa pra-industri. Dampak perubahan iklim sangat nyata dan terasa,” ujar Schmidt.
Para ahli juga mengingatkan bahwa meskipun rekor panas 13 bulan berturut-turut telah berakhir, masyarakat global tidak seharusnya merasa lega. “Perubahan iklim dan dampaknya telah terlihat selama bertahun-tahun dan tidak akan berhenti hanya karena berakhirnya rekor ini,” tegas Nicolas.
Dampak Berlanjut dari Pemanasan Global: Apa yang Terjadi Setelah 13 Bulan Rekor Panas?
Meskipun rentetan rekor suhu panas selama 13 bulan berturut-turut berakhir pada Juli 2024, suhu rata-rata global tetap jauh lebih tinggi dibandingkan dengan masa pra-industri. Juli 2024 tercatat sebagai bulan Juli terpanas kedua dalam sejarah catatan suhu Copernicus, dengan suhu rata-rata melebihi angka rata-rata 30 tahun terakhir. Kondisi ini menegaskan bahwa pemanasan global tetap menjadi isu krusial yang memerlukan perhatian serius dari seluruh dunia.