Kekurangan dasar-dasar yang kuat mengenai ESG dan pemahaman tentang pentingnya aspek tersebut di kalangan birokrasi mungkin memainkan peran dalam keputusan Tesla.
“Kita belum melihat adanya kesadaran akan ESG di kalangan birokrat kita. Oleh karena itu, para individu di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves), dan lembaga birokrasi lainnya perlu dilatih untuk lebih memahami konsep ESG secara mendalam. Pertimbangan terhadap ESG semakin penting bagi perusahaan yang ingin menyelaraskan operasinya dengan tujuan keberlanjutan global,” ungkapnya.
Rhenald menekankan bahwa Indonesia tidak perlu merasa putus asa atas keputusan Tesla untuk membangun kantornya di Malaysia. Masih ada peluang-peluang lain yang dapat diambil, dan yang terpenting adalah melakukan perbaikan terhadap tantangan-tantangan dalam sistem birokrasi, meningkatkan transparansi regulasi, dan mengadopsi prinsip-prinsip ESG.
Langkah-langkah tersebut berpotensi untuk mengubah Indonesia menjadi destinasi yang lebih menarik bagi investasi berkelanjutan.
“Keputusan Tesla untuk memilih Malaysia sebagai lokasi kantornya seharusnya menjadi sebuah peringatan bagi Indonesia. Perjalanan ini belum berakhir, dan kita tidak boleh putus asa. Masih ada peluang-peluang lain yang belum dieksplorasi,” tegasnya.
Tantangan Investasi Tesla di Indonesia: Perspektif Birokrasi, Regulasi, dan ESG
Meskipun keputusan Tesla untuk memilih Malaysia sebagai tujuan investasi menjadi pukulan, Indonesia memiliki peluang untuk memperbaiki kondisi ini. Perbaikan dalam sistem birokrasi, transparansi regulasi, dan kesadaran akan pentingnya ESG dapat merubah citra Indonesia sebagai tujuan investasi yang menarik dan berkelanjutan.
Kesempatan ini mengajak Indonesia untuk bangkit dan mengambil tindakan yang diperlukan guna menciptakan lingkungan yang lebih kondusif bagi investasi masa depan.