Dengan adanya rezim devisa bebas di Indonesia, perusahaan China berhak mengirimkan hasil ekspornya ke luar negeri atau kembali ke negaranya sendiri tanpa terkena pajak atau pungutan.
Faisal juga menyoroti bahwa perusahaan-perusahaan smelter nikel ini mendapatkan insentif tax holiday selama 20 tahun atau lebih, sehingga mereka tidak membayar pajak. Fasilitas pajak ini diberikan oleh pemerintah melalui Kementerian Keuangan dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Selain itu, Faisal menyatakan bahwa perusahaan nikel asal China yang beroperasi di Indonesia juga tidak membayar royalti. Ini disebabkan karena perusahaan-perusahaan penambang nikel yang membayar royalti pada umumnya adalah pengusaha nasional.
Pada saat masih diperbolehkan untuk mengekspor bijih nikel, pemerintah masih memperoleh pendapatan dari pajak ekspor.
Dengan penjelasan ini, Yustinus Prastowo mencoba untuk memberikan sudut pandang yang berbeda terkait dampak dan manfaat dari kebijakan hilirisasi nikel yang diterapkan oleh pemerintah, serta merespons kritik yang telah diajukan oleh Faisal Basri.
Hilirisasi Nikel dan Dampaknya terhadap Keuntungan Negara: Klarifikasi dan Perspektif
Mendalami Kebijakan Hilirisasi Nikel: Antara Kritik dan Realitas Keuntungan Dalam sorotan kontroversi hilirisasi nikel, pandangan berbeda dari Faisal Basri dan Yustinus Prastowo mengajak kita untuk melihat lebih dalam. PNBP, royalti, dan mekanisme pendapatan negara teratur secara hukum menjadi poin penting yang harus diakui.
Di tengah arah pengelolaan mineral menuju hilirisasi, langkah konkret pemerintah memberikan gambaran komitmen. Namun, dominasi China dalam sektor smelter nikel dan dampak insentif fiskal pada perusahaan asing menggugah pertimbangan lebih lanjut mengenai manfaat hilirisasi nikel.