Kebijakan hilirisasi nikel yang dicanangkan pemerintah mendapat sorotan tajam dari Ekonom Senior, Faisal Basri. Namun, Staf Khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo, memberikan pandangan lain terkait isu ini. Melalui cuitan di akun Twitternya, Yustinus membantah anggapan bahwa China menjadi satu-satunya yang diuntungkan.
Menurutnya, pemerintah telah mengatur mekanisme pendapatan negara yang tetap terjaga melalui PNBP dan royalti. Kini, mari kita telaah kesimpulan dari kontroversi ini dalam tiga alinea yang mengungkap dampak hilirisasi nikel terhadap Indonesia.
Dampak PNBP dan Royalti dalam Kebijakan Hilirisasi: Pemahaman Mendalam
Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo merespons kritik yang diajukan oleh Ekonom Senior Faisal Basri terkait kebijakan hilirisasi nikel yang diselenggarakan oleh pemerintah. Pada cuitan di akun Twitternya pada hari Jumat (11/8), Yustinus mengklarifikasi pandangan Faisal mengenai pemberian insentif tax holiday selama 20 tahun kepada perusahaan pengolahan smelter nikel sehingga dianggap tidak ada pungutan pajak yang disumbangkan kepada negara dari hasil keuntungan hilirisasi.
Yustinus menjelaskan bahwa pemerintah sebenarnya telah menetapkan pemungutan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan royalti atas nikel dan produk pemurniannya. Oleh karena itu, keuntungan yang diperoleh dari proses hilirisasi tetap akan masuk ke kas negara.
Dalam kata-kata Yustinus, “Saudara @FaisalBasri yang terhormat, ijinkan saya menjelaskan satu hal terlebih dahulu, yakni PNBP dan royalti. Terdapat kekeliruan dalam pernyataan Anda bahwa tidak ada pungutan, karena kenyataannya melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2022, telah diatur tarif PNBP Sumber Daya Alam (SDA) dan royalti atas nikel dan produk pemurniannya.”
Yustinus menjelaskan lebih lanjut bahwa langkah pemerintah dalam mendukung hilirisasi nikel sejalan dengan amanat UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara, yang mengarahkan pengelolaan sumber daya mineral untuk mendukung proses hilirisasi.
Dalam konteks ini, terdapat dua tindakan konkret yang telah diambil oleh pemerintah terkait kebijakan hilirisasi ini. Pertama, adanya pelarangan ekspor bijih nikel mulai tahun 2020. Kedua, pengenaan tarif royalti yang berbeda antara Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang hanya melakukan produksi dan penjualan bijih nikel dengan IUP yang memiliki fasilitas smelter.
Tarif royalti untuk bijih nikel diatur sebesar 10 persen, sementara tarif untuk produk feronikel atau nikel matte diatur sebesar 2 persen.
Faisal Basri telah mengkritik bahwa keuntungan dari proses hilirisasi ini justru dinikmati oleh China. Dia menunjukkan bahwa sebanyak 90 persen keuntungan hilirisasi nikel yang dicanangkan oleh Presiden Jokowi ternyata beralih ke China.
Kritik Faisal Basri vs. Realita Data: Keuntungan dan Keterbatasan Hilirisasi
Faisal menilai hal ini berdasarkan informasi resmi pemerintah dan pelaku bisnis terkait. Menurutnya, data ekspor bijih nikel pada tahun 2014 hanya mencapai Rp1 triliun. Namun, pada tahun 2022, ekspor besi dan baja yang dihasilkan dari hilirisasi mencapai Rp413,9 triliun.
Meski terdapat ekspor, Faisal berpendapat bahwa sebagian besar uang dari hasil ekspor tersebut tidak sepenuhnya berkontribusi pada perekonomian Indonesia. Hal ini dikarenakan sebagian besar perusahaan smelter nikel yang terlibat dalam pengolahan bijih nikel dimiliki oleh perusahaan-perusahaan asal China.