[ad_1]
(Penulis adalah Dosen Peternakan pada Universitas Islam Kadiri) “NUR HAFID”
Kediri, Memo
Bulan ramadlan memang bulan yang penuh ketenangan, umat islam melaksanakan ibadah puasa dengan khusuk tanpa gangguan suatu apapun. Sumber kemaksiatan sudah ditutup rapat oleh aparat penegak hukum. Bahkan penjual makananpun juga diperlakukan khusus pada bulan yang suci, boleh buka asal ditutup pakai selambu. Sehingga kita berharap puasa kita dapat betul-betul akan mencapai tujuan Lilmuttaqien (menjadi orang yang bertaqwa).
Cuman kadang-kadang hati kecil saya bertanya apakah kemaksiatan itu tidak boleh pada saat bulan ramadlan saja ? setelah bulan Ramadlon kembali lagi seperti semula, karena kesan yang saya tangkap pada bulan Ramadlon ini seakan akan dunia ini milik orang yang melaksanakan puasa, seakan akan puasa itu tidak boleh diganggu oleh gemerlap yang bisa mengakibatkan batalnya puasa. Menurut saya puasa itu kan salah satu upaya untuk belajar menahan diri dari nafsu nafsu yang jelek ( tidak hanya menahan tidak makan seharian), kemaksiatan dan lain sebagainya. Kalau sumber sumber hawa nafsu itu sudah dilarang selama satu bulan, ini berarti kita melaksanakan puasa itu tidak ada “tantangan”, wallohualam.
Kalau kita mau mengkaji lebih dalam akan hikmah puasa itu kan salah satunya adalah toleransi, supaya kita dapat merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, dapat menghormati orang lain, misalnya kita dapat merasakan bahwa lapar itu ternyata juga tidak enak. Kalau kita sudah merasakan hal-hal tersebut, harapannya kita tidak semena mena dengan orang yang kelaparan. Jadi puasa, itu sebenarnya bukan finalisasi akan tetapi sebaliknya, puasa hanya merupakan jalan untuk menuju kesempurnaan sesungguhnya. Lha jika kita berjalan ke tujuan yang baik tetapi pada saat perjalanan kita tabrak sini tabrak sana, memaksa orang lain untuk menghormati kita cuman agar sampai finish dengan cepat tanpa ada gangguan, apa yang demikian ini sudah benar.
Alkisah seorang resi sebut saja Resi Baratwaja namanya, membangun sebuah padepokan tidak ditempat yang sunyi dan terpencil, melainkan ditengah hingar bingar kesibukan penduduk, bahkan kadang-kadang terasa amat bising. Disaat mereka memanjatkan doa dimana memerlukan suasana yang hening agar doa mereka tulus keluar dari hati yang khusu, kebisingan tetap berjalan dan tetap mengganggu konsentrasi mereka. Baratwaja mengangap apa yang dilakukannya sudah benar, baginya berdoa ditempat yang bising tapi tetap bisa khusu akan lebih baik dibanding berdoa ditempat yang sepi. Karena menurut beliau jika berdoa ditempat yang sepi semua orang mesti akan khusu’.
Santrinya berpendapat lain, jika ini dibiarkan mereka tidak akan bisa berdoa dengan tenang. Maklum namanya santri biasanya tataran akhlaqnya belum begitu sempurna, yang keluar emosinya. Maha Resi, kata salah satu santri dengan nada tinggi, sekali dua kali aku sabar menghadapi gangguan hingar bingar suara maksiat tetangga kita sebelah. Kesabaran kan ada batasnya Resi.
Kamu benar santriku jawab sang resi dengan nada rendah. Jika Maha Resi merestui, saya bisa menutup tempat maksiat disebelah padepokan kita ini, kata santri kemudian dengan nada optimis.
Jangan. Kita harus Sabar, kata Resi Sampai kapan kita harus sabar? Saya kira kesabaran resipun ada batasnya, Jawab santri itu lagi. Kita tak mau terus menerus diganggu seperti ini, ini pelecehan.
The post PUASA DAN TOLERANSI appeared first on Memo Kediri |.
The post PUASA DAN TOLERANSI appeared first on Berita Memo.
[ad_2]
Source link