Sejumlah organisasi relawan yang mendukung pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD telah mengeluarkan ‘Petisi Brawijaya’ yang menolak hasil Pemilu 2024 dan menyerukan agar pemungutan suara pemilihan presiden diadakan kembali.
Ketua Projo Ganjar Haposan Situmorang menjelaskan bahwa petisi tersebut diterbitkan karena mereka percaya bahwa Pilpres 2024 telah dipenuhi dengan berbagai bentuk kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).
Petisi Brawijaya yang disampaikan oleh relawan Ganjar-Mahfud mengandung lima tuntutan yang ditujukan kepada pemerintah Presiden Joko Widodo (Jokowi), Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Salah satu tuntutan utamanya adalah agar Pemilu 2024 diadakan kembali dan hasil yang telah ada ditolak.
Quick Count Berujung pada Kericuhan Opini Publik
Berikut adalah isi lengkap Petisi Brawijaya dari relawan Ganjar-Mahfud:
- Menolak hasil pemilihan presiden dan wakil presiden yang diselenggarakan pada tanggal 14 Februari 2024 yang dicirikan oleh kecurangan.
- Meminta kepada KPU yang dibentuk oleh pemerintah pusat untuk mengadakan pemilihan ulang secara transparan, terutama dalam pemilihan presiden dan wakil presiden tahun 2024-2029 dengan mengubah komisioner KPU dan Bawaslu yang saat ini ada.
- Menyatakan keberatan atas deklarasi kemenangan pasangan calon 02 yang dilakukan secara meriah berdasarkan perhitungan cepat sementara KPU belum menetapkan pemenang pemilihan presiden berdasarkan jumlah suara terbanyak. Tindakan ini telah secara jelas memengaruhi pendapat publik secara luas yang dapat memicu perpecahan dalam masyarakat.
- Meminta Bawaslu untuk menindaklanjuti secara hukum terhadap pasangan calon 02 atas deklarasi kemenangan yang mereka lakukan.
- Mengajukan permohonan kepada pihak yang berwenang untuk menonaktifkan pasangan calon 02 dalam pemilihan presiden dan wakil presiden tahun 2024.
Sementara itu, Ketua Divisi Teknis Penyelenggaraan KPU RI, Idham Holik, memberikan izin kepada relawan Ganjar Pranowo-Mahfud MD untuk mengajukan sengketa hasil Pilpres 2024 ke Mahkamah Konstitusi (MK).