Example floating
Example floating
i-MarketingTeknologi Digital

Perkembangan ekonomi digital, Siapa Pemungut Pajak, Marketplace atau Penjual

×

Perkembangan ekonomi digital, Siapa Pemungut Pajak, Marketplace atau Penjual

Sebarkan artikel ini
Perkembangan ekonomi digital, Siapa Pemungut Pajak, Marketplace atau Penjual
Example 468x60

Perubahan ekonomi digital sudah jadi kekuatan besar untuk Indonesia di tengah-tengah perbaikan perekonomian nasional. Ditambah, di tahun 2021, nilai ekonomi digital RI sanggup capai US$70 miliar dan diprediksikan bisa tembus angka US$145 miliar pada 2025.

Oleh karenanya, pembuatan ekosistem yang kuat dalam cuaca usaha secara digital lewat e-commerce perlu dilaksanakan. Ini termasuk juga peraturan peraturan perpajakan buat membuat konsep keadilan lewat kesetaraan usaha dan persaingan yang sehat di antara aktor usaha digital dan konservatif.

Mas Dhito Lanjutkan

Pada Oktober 2021 lalu pemerintahan sudah mengeluarkan Undang-Undang No.7 Tahun 2021 mengenai Harmonisasi Ketentuan Perpajakan (HPP). Salah satunya dasar ketetapan dalam UU HPP itu yakni atur pemangkasan, pengambilan, penyerahan dan/atau laporan pajak atas produk/service digital. Disamping itu, pasal ini memercayakan marketplace menjadi faksi yang bisa mengambil PPN atas barang yang dipasarkan di marketplace dan menggunting PPH atas pendapatan seller yang sudah Pebisnis Terkena Pajak (PKP).

Menyikapi hal itu, Pendamping Deputi Ekonomi Digital Kementerian Koordinator Sektor Ekonomi Rizal Edwin Manansang menjelaskan, arah peraturan pajak yang hendak diambil perlu menimbang efeknya pada perubahan industri e-commerce nasional, terhitung untuk UMKM yang manfaatkan pasar place dalam meluaskan usaha mereka.

Sama sesuai PMK nomor 60 tahun 2022 yang disebut turunan dari Undang-Undang No.7 Tahun 2021 mengenai Harmonisasi Ketentuan Perpajakan (HPP), perusahaan pelaksana PMSE yang dipilih sebagai pemungut PPN harus mengambil PPN dengan biaya 11 % atas produk luar negeri yang dijualnya di Indonesia. Pajak ini harus diambil perusahaan yang mempunyai nilai transaksi bisnis melewati Rp600 juta satu tahun atau Rp50 juta sebulan.

Periset dari Indonesian Center for Tax Law/ICTL Fakultas Hukum Kampus Gadjah Mada (FH UGM) Adrianto Dwi Nugroho memandang, pemilihan faksi tertentu sebagai pemungut pajak akan lemahkan self assessment sistem yang diyakini. Karena, kewajiban laporan dan penyerahan pajak dengan seorang harus pajak atau PKP, misalkan aktor usaha yang mendapat keuntungan usaha pada pelaksana Perdagangan Lewat Mekanisme Electronic (PPMSE) dalam negeri, malah diarahkan pada pihak lain.

Baca Juga  Lecut Semangat Penyumbang Pajak, Bapenda Tulungagung Gelar Tax Award 2024 di Ruang Terbuka

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.