Perubahan ekonomi digital sudah jadi kekuatan besar untuk Indonesia di tengah-tengah perbaikan perekonomian nasional. Ditambah, di tahun 2021, nilai ekonomi digital RI sanggup capai US$70 miliar dan diprediksikan bisa tembus angka US$145 miliar pada 2025.
Oleh karenanya, pembuatan ekosistem yang kuat dalam cuaca usaha secara digital lewat e-commerce perlu dilaksanakan. Ini termasuk juga peraturan peraturan perpajakan buat membuat konsep keadilan lewat kesetaraan usaha dan persaingan yang sehat di antara aktor usaha digital dan konservatif.
Pada Oktober 2021 lalu pemerintahan sudah mengeluarkan Undang-Undang No.7 Tahun 2021 mengenai Harmonisasi Ketentuan Perpajakan (HPP). Salah satunya dasar ketetapan dalam UU HPP itu yakni atur pemangkasan, pengambilan, penyerahan dan/atau laporan pajak atas produk/service digital. Disamping itu, pasal ini memercayakan marketplace menjadi faksi yang bisa mengambil PPN atas barang yang dipasarkan di marketplace dan menggunting PPH atas pendapatan seller yang sudah Pebisnis Terkena Pajak (PKP).
Menyikapi hal itu, Pendamping Deputi Ekonomi Digital Kementerian Koordinator Sektor Ekonomi Rizal Edwin Manansang menjelaskan, arah peraturan pajak yang hendak diambil perlu menimbang efeknya pada perubahan industri e-commerce nasional, terhitung untuk UMKM yang manfaatkan pasar place dalam meluaskan usaha mereka.
Sama sesuai PMK nomor 60 tahun 2022 yang disebut turunan dari Undang-Undang No.7 Tahun 2021 mengenai Harmonisasi Ketentuan Perpajakan (HPP), perusahaan pelaksana PMSE yang dipilih sebagai pemungut PPN harus mengambil PPN dengan biaya 11 % atas produk luar negeri yang dijualnya di Indonesia. Pajak ini harus diambil perusahaan yang mempunyai nilai transaksi bisnis melewati Rp600 juta satu tahun atau Rp50 juta sebulan.
Periset dari Indonesian Center for Tax Law/ICTL Fakultas Hukum Kampus Gadjah Mada (FH UGM) Adrianto Dwi Nugroho memandang, pemilihan faksi tertentu sebagai pemungut pajak akan lemahkan self assessment sistem yang diyakini. Karena, kewajiban laporan dan penyerahan pajak dengan seorang harus pajak atau PKP, misalkan aktor usaha yang mendapat keuntungan usaha pada pelaksana Perdagangan Lewat Mekanisme Electronic (PPMSE) dalam negeri, malah diarahkan pada pihak lain.
“Menurut kami untuk marketplace ini sementara dipandang tidak memiliki kemampuan. Karena ia cuma jadi intermedia pada suatu transaksi bisnis, ia tidak ketahui status sang seller telah penuhi persyaratan atau mungkin tidak,” kata Adrianto dalam penjelasannya di Jakarta, Kamis (22/9/2022).
Maknanya, lanjut Adrianto, dicemaskan terjadi disinformasi karena marketplace tidak ketahui status harus pajak atau PKP dari sellernya. Lalu, mereka disuruh untuk menggunting dan menyerahkan ke kas negara. Walau sebenarnya, menurut dia, ada informasi-informasi tidak dipunyai marketplace, satu diantaranya berkaitan volume transaksi bisnis.
“Pada akhirnya itu memengaruhi kemampuan intermedia, terhitung dari supplier sudahkah PKP atau memang belum untuk penuhi persyaratan itu. Jadi dari segi kemampuan marketplace ini ada masalah yang perlu dituntaskan sebelumnya dapat diaplikasikan,” kata dia.
Di lain sisi, Ketua Umum idEA Bima Pertandingan, mengharap peraturan itu tidak diaplikasikan secara tiba-tiba oleh pemerintah. Karena, dibutuhkan saat yang cukup buat lakukan pembelajaran ke beberapa aktor UMKM. Baca : Tokopedia Jadi E-Commerce Paling Dipercayai dan Dihandalkan oleh UMKM
“Harus dipahami jika barusan ditetapkan undang-undang PDP yang tidak mempunyai waktu dua tahun untuk aplikasinya, itu juga sesudah undang-undang dipersiapkan kita harus juga memberi pembelajaran ke beberapa aktor, begitu halnya Undang-Undang HPP ini bagaimana nanti kita dapat memberi saat yang cukup dalam aplikasinya,” kata Bima.
Maka dari itu, Bima menghimbau ke Pemerintahan untuk lakukan pembelajaran ke aktor UMKM dengan menggamit e-commerce saat sebelum ditetapkannya ketentuan pajak dari e-commerce itu.