Sementara penasehat hukum Tim Panca Gatra, Dr Supriarno SH MH, menyebut pihaknya telah meminta program perhutanan sosial tersebut dihentikan sejak 25 Januari 2024 silam. Namun, manuver untuk merampas tanah rakyat terus dilakukan secara diam-diam.
“Dilakukan secara sembunyi-sembunyi oleh Dinas Perkim dan Pemerintah Desa. Kadang turun dua sampai 5 orang untuk mempengaruhi masyarakat. Seolah-olah baik, padahal tujuannya untuk merampas hak rakyat atas tanah,” jelas Supriarno.
Jebolan Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini juga menerangkan bahwa, Dinas Perkim melakukan manipulasi kepada masyarakat dengan tidak menjelaskan konsep perhutanan sosial secara lengkap.
“Masyarakat dijanjikan sertifikat, tapi sertifikat seperti apa tidak dijelaskan. Padahal dalam perhutanan sosial itu, sertifikatnya kolektif dan hanya seluas satu rumah saja. Selebihnya menjadi lahan hutan yang dapat dikelola dengan sistem bagi hasil,” jlentreh pria berkacamata ini lagi.
Dia juga mengungkapkan bahwa laporan Panca Gatra ini telah ditindaklanjuti oleh Polres Blitar, dengan langsung menerjunkan tim ke lapangan. Sekaligus ia mengapresiasi langkah Polres Blitar yang sigap menangani perkara ini.
“Karena kasus mafia tanah jika tidak secepatnya ditangani, akan menyebabkan konflik besar. Di Indonesia sudah banyak contohnya, biang keroknya adalah para mafia tanah seperti ini,” pungkas Supriarno. (Pra)