Dalam beberapa tahun ke depan, Indonesia dihadapkan pada tantangan serius terkait cadangan nikel yang terancam habis dalam 13 tahun. Meskipun memiliki cadangan yang melimpah, eksploitasi yang agresif dan kebijakan hilirisasi yang belum optimal telah mempersingkat umur cadangan nikel Indonesia.
Kesimpulan dari analisis ini memunculkan seruan penting untuk perbaikan dalam pengelolaan sumber daya alam ini dan melibatkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam langkah-langkah hilirisasi yang lebih strategis. Faisal Basri, seorang ekonom, menggarisbawahi urgensi tindakan cepat dalam mengubah nasib nikel Indonesia, menjelaskan bahwa fokus pada nikel harus mendapatkan prioritas, daripada mengalihkan perhatian ke sumber daya alam lain yang dapat menimbulkan kontroversi.
Tantangan Besar: Cadangan Nikel Indonesia dalam Ancaman yang Mendesak
Ekonom Faisal Basri memperkirakan bahwa cadangan nikel Indonesia akan habis dalam waktu 13 tahun mendatang. Prediksi ini didasarkan pada data cadangan nikel saat ini di Indonesia dan tingkat eksploitasi yang dilakukan oleh pemerintah saat ini.
Menurut data United States Geological Survey (USGS), Indonesia memiliki cadangan nikel sebanyak 21 juta metrik ton.
Jumlah cadangan ini pada dasarnya setara dengan yang dimiliki oleh Australia. Di bawah Indonesia dan Australia, terdapat Brasil dengan cadangan sebanyak 16 juta metrik ton, Rusia dengan 7,5 juta metrik ton, New Caledonia dengan 7,1 juta metrik ton, dan Filipina dengan 4,8 juta metrik ton.
Sementara itu, Kanada memiliki 2,2 juta metrik ton, China dengan 2,1 juta metrik ton, dan Amerika Serikat dengan 0,37 juta metrik ton.
Namun, meskipun memiliki cadangan terbanyak, cadangan nikel Indonesia memiliki umur yang paling singkat dibandingkan dengan negara-negara lain. Menurut Faisal, hal ini disebabkan oleh intensitas eksploitasi nikel yang sangat tinggi di Indonesia.
Data yang dimilikinya menunjukkan bahwa eksploitasi nikel di Indonesia mencapai 1,6 juta metrik ton per tahun. Faisal mengkritik tindakan ini, mengatakan bahwa Indonesia bergerak terlalu agresif dalam mengambil keuntungan dari sumber daya alamnya tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan dan keberlanjutan cadangan.
Faisal juga membandingkan situasi ini dengan Australia, yang memiliki jumlah cadangan nikel yang sama, yaitu 21 juta metrik ton, tetapi hanya menghasilkan 160 ribu metrik ton per tahun. Dengan tingkat produksi yang lebih rendah, cadangan nikel Australia dapat bertahan selama 131 tahun, memberikan manfaat kepada generasi mendatang.
Eksplorasi Nikel, Eksploitasi Lingkungan, dan Seruan untuk Tindakan Cepat
Untuk mengatasi masalah ini, Faisal Basri memanggil pemerintahan Presiden Jokowi untuk memperbaiki pengelolaan eksploitasi nikel dan juga proses hilirisasinya. Ia mencatat bahwa meskipun nilai ekspor bijih nikel meningkat sejak pemerintah memulai program hilirisasi pada tahun 2014, sebagian besar keuntungan dari ekspor ini justru dinikmati oleh China, karena hampir semua perusahaan smelter pengolah bijih nikel beroperasi di bawah kepemilikan China dan Indonesia menerapkan rezim devisa bebas.
Selain itu, perusahaan-perusahaan ini tidak dikenakan pajak atau pungutan tambahan atas ekspor olahan bijih nikel mereka. Faisal mencatat bahwa perusahaan smelter nikel mendapatkan insentif pajak selama 20 tahun atau lebih dari pemerintah Indonesia melalui Kementerian Keuangan dan BKPM.
Faisal juga mencatat bahwa perusahaan nikel China di Indonesia tidak membayar royalti, karena royalti hanya dibayarkan oleh perusahaan penambang nikel yang sebagian besar adalah perusahaan nasional. Dalam era ketika ekspor bijih nikel masih diizinkan, pemerintah mendapatkan pendapatan dari pajak ekspor.
Faisal mengusulkan beberapa tindakan yang dapat diambil oleh Presiden Jokowi untuk menjaga keuntungan Indonesia dalam pengelolaan nikel dan hilirisasinya. Salah satunya adalah melibatkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam setiap tahapan hilirisasi, karena hilirisasi berbeda dengan tambang yang memiliki masa kontrak.
Selain itu, Faisal menyarankan untuk melakukan audit terhadap perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam hilirisasi nikel di Indonesia. Ia yakin bahwa banyak dari mereka tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan fasilitas dari pemerintah.
Faisal berpendapat bahwa dengan cara ini, kita dapat mengubah nasib kita dalam pengelolaan nikel, yang harus dilakukan dengan cepat mengingat cadangan nikel hanya tersisa 13 tahun. Oleh karena itu, ia menegaskan pentingnya untuk fokus pada pengelolaan nikel daripada tergoda untuk mengeksploitasi sumber daya alam lainnya dengan cara yang kontroversial.
Tantangan Besar: Cadangan Nikel Indonesia yang Terancam
Dalam menghadapi tantangan besar terkait cadangan nikel, Faisal Basri menyarankan langkah-langkah konkret. Pertama, perlu adanya kolaborasi antara pemerintah Indonesia dan BUMN dalam semua aspek hilirisasi nikel. Ini diperlukan agar negara memiliki kendali yang lebih besar terhadap manfaat yang dihasilkan dari eksploitasi nikel.
Kedua, penting untuk melakukan audit ketat terhadap perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam hilirisasi nikel di Indonesia. Dengan cara ini, dapat diidentifikasi dan diperbaiki ketidakpatuhan yang mungkin terjadi dalam pengelolaan sumber daya ini.
Ketiga, Faisal Basri menegaskan bahwa menjaga keberlanjutan cadangan nikel Indonesia adalah langkah yang mendesak, mengingat hanya tersisa 13 tahun. Oleh karena itu, fokus harus tetap pada pengelolaan nikel dan bukan pada sumber daya alam lain yang dapat menimbulkan masalah yang serupa.
Kesimpulannya, tantangan besar terkait nikel mengingatkan kita akan pentingnya keberlanjutan dalam pengelolaan sumber daya alam dan tindakan yang efektif untuk melindungi kekayaan alam Indonesia.