Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat telah mengeluarkan permintaan mendesak kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan UNHCR untuk segera menindaklanjuti masalah gelombang pengungsi Rohingya yang terus mendarat di wilayah Indonesia, khususnya di Aceh.
Permintaan ini disuarakan sebagai respons terhadap penolakan serta perluasan masalah kemanusiaan yang semakin meresahkan.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Mendorong Tindakan Cepat PBB dan UNHCR
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat telah mengajukan permintaan kepada badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang bertanggung jawab atas pengungsi (UNHCR) untuk bertindak cepat dalam menangani masalah imigran Rohingya yang terus datang ke Indonesia, terutama di Aceh.
Sudarnoto Abdul Hakim, Ketua UI Bidang Kerja Sama dan Hubungan Luar Negeri, menyatakan bahwa bila ada pengabaian terhadap nasib pengungsi Rohingya, hal ini akan menciptakan pandangan bahwa Pemerintah Indonesia mengesampingkan rasa kemanusiaan.
Penyataan tersebut merujuk pada penolakan yang terjadi di kalangan warga Aceh terhadap kedatangan gelombang pengungsi imigran Rohingya di pantai-pantai daerah mereka.
Menurutnya, pengungsi Rohingya hanya membutuhkan tempat yang aman. Namun, perlu ditekankan bahwa Indonesia bukanlah negara yang memberikan suaka politik.
“UNHCR dan PBB harus bertindak segera dan tidak membiarkan masalah pengungsi Rohingya di Aceh atau tempat lain berlarut-larut. Ini harus diselesaikan dengan mengirimkan para pengungsi ke negara-negara yang memberikan suaka politik, terdekat seperti Australia dan Kanada,” ujarnya usai Rapat Paripurna Dewan Pimpinan MUI Tahun 2023 di Jakarta, pada Jumat (17/11) yang lalu.
Selain itu, Sudarnoto juga meminta perwakilan MUI di Aceh untuk melakukan dialog dan mencari solusi agar masyarakat dan otoritas setempat dapat mengizinkan kedatangan kapal yang membawa imigran Rohingya ke wilayah tersebut sebagai bentuk kepedulian kemanusiaan.
“Ikatan MUI di Aceh dan Sumatera Utara harus melakukan dialog dengan pemerintah setempat atau melibatkan berbagai kalangan masyarakat agama untuk mendiskusikan permasalahan ini secara lebih mendalam, agar tidak dibiarkan begitu saja. Jika dibiarkan, pada akhirnya pemerintah [Indonesia] akan mendapat kritik,” tambahnya.
Sebelumnya, gelombang ketiga imigran Rohingya tiba di pesisir Aceh selama bulan November 2023, namun mereka mendapat penolakan dari masyarakat. Meskipun sebelumnya dua kapal telah diterima oleh Pemerintah Kabupaten Pidie.
Selama beberapa hari terakhir, Aceh kedatangan ratusan pengungsi Rohingya yang datang menggunakan kapal.
Pertama kali pada hari Selasa (14/11) di pantai Gampong Blang Raya Kecamatan Muara Tiga Kabupaten Pidie dengan jumlah 200 orang, dimana enam di antaranya melarikan diri.
Sehari kemudian, pada Rabu (15/1), sebanyak 147 imigran Rohingya kembali mendarat di kawasan pantai Beurandeh Kecamatan Batee Kabupaten Pidie.
Penanganan Krisis Pengungsi Rohingya: Permintaan MUI untuk Solusi Humaniter di Aceh
Etnis Rohingya dari dua gelombang yang tiba di Pidie telah ditampung di kamp Yayasan Mina Raya Gampong Leun Tanjung Kecamatan Padang Tiji Kabupaten Pidie, Aceh.
Kemudian, ada 249 orang imigran Rohingya yang mendarat di Kabupaten Bireuen pada akhir pekan yang sama. Mereka saat ini berada di tempat penampungan ikan Lapang Barat Kecamatan Gandapura, Bireuen.
Berdasarkan informasi yang diterima, para imigran tersebut awalnya ditolak oleh masyarakat Jangka Bireuen, lalu mendarat di Aceh Utara.
Namun, mereka kembali mendapat penolakan dari masyarakat Aceh Utara sehingga kapal yang membawa pengungsi itu kembali ke lautan. Akhirnya, pada Minggu (19/11), para imigran Rohingya tersebut mendarat di wilayah Lapang Barat Bireuen.
“Para pengungsi Rohingya saat ini berada di TPI Lapang Barat, mereka sedang ditangani sementara,” ujar Camat Gandapura, Bireuen, Azmi, seperti dilansir dari Antara.
“Mereka sebelumnya ditolak di Jangka Bireuen, kemudian ke Ulee Madon, Aceh Utara, dan akhirnya tiba di sini. Mereka adalah orang yang sama,” tambah Azmi.
Azmi juga menyatakan bahwa saat ini masyarakat setempat telah memberikan bantuan seperti makanan dan pakaian kepada para imigran.
“Namun, masyarakat di sana masih menolak dan kami sudah berkoordinasi dengan UNHCR (Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi) mengenai kedatangan imigran Rohingya ini,” katanya.
Selain 249 orang pengungsi di Bireuen, pada hari yang sama juga ada 220 imigran Rohingya yang mendarat di Gampong Kulee Kecamatan Batee Kabupaten Pidie, Aceh. Namun, hingga saat ini belum ada penanganan khusus terhadap mereka.
Pada hari yang sama juga, ditemukan 35 warga Rohingya di dalam truk setelah melaporkan kedatangan dari kapal di pantai Kecamatan Madat, Kabupaten Aceh Timur.
Sebanyak 35 imigran tersebut telah diamankan dari truk berwarna kuning yang ditutupi terpal tanpa nomor polisi. Mereka terdiri dari 18 pria, 17 wanita, dan anak-anak. Saat ini, mereka telah dievakuasi ke Idi Sport Center Idi Rayeuk, Aceh Timur.
Krisis Pengungsi Rohingya di Aceh: Tuntutan Aksi Cepat PBB dan Peran MUI dalam Solusi Humaniter
Pada bulan November 2023, Aceh menjadi tempat kedatangan berbagai gelombang pengungsi Rohingya. Meskipun ada upaya penampungan dari pemerintah setempat, penolakan dari sebagian masyarakat juga terjadi. MUI menekankan perlunya tindakan cepat PBB dan UNHCR dalam menangani masalah ini untuk mencegah stigmatisasi Pemerintah Indonesia sebagai entitas yang mengabaikan aspek kemanusiaan.
Dalam rangka memberikan solusi, MUI juga meminta perwakilan mereka di Aceh untuk berdialog dengan otoritas setempat guna mencari penyelesaian yang lebih humaniter terkait pendaratan kapal yang membawa imigran Rohingya.
Situasi ini mencerminkan kompleksitas dan urgensi dalam menangani krisis pengungsi di Aceh yang membutuhkan kerjasama lintas sektor untuk mencari solusi yang adil dan berkelanjutan.