Program hilirisasi pertambangan di Indonesia menjadi sorotan utama dalam upaya pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mengangkat negara ini ke tingkat yang lebih tinggi. Meskipun berhasil mencatat pencapaian signifikan dalam perekonomian dan neraca perdagangan, tantangan serius datang dari berbagai pihak, termasuk Uni Eropa, Amerika Serikat (AS), dan Dana Moneter Internasional (IMF).
Di tengah polemik ini, artikel ini akan merinci perjalanan sukses program hilirisasi hingga sejauh mana perkembangannya, serta menggambarkan tantangan yang harus dihadapi oleh pemerintah Indonesia dalam mencapai tujuan tersebut.
Keberhasilan Program Hilirisasi dan Dampak Positifnya Terhadap Ekonomi
Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tetap menegaskan komitmennya untuk meningkatkan program hilirisasi dalam sektor pertambangan mineral di dalam negeri. Walaupun program ini telah menghadapi kritik dari berbagai pihak, termasuk Uni Eropa, Amerika Serikat (AS), dan Dana Moneter Internasional (IMF).
Menurut Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Panjaitan, tidak ada negara maju di dunia yang akan dengan senang hati melihat negara berkembang seperti Indonesia naik kelas menjadi negara maju.
Hal ini terkait dengan program hilirisasi yang tengah diimplementasikan di dalam negeri dan mendapat penolakan dari Uni Eropa.
Karenanya, Indonesia harus bertekad untuk mencapai status negara maju dengan usaha sendiri. Kita tidak boleh bergantung pada pihak lain.
“Jadi, kita harus melakukannya sendiri atau kita akan menjadi budak mereka. Berkelahi adalah pilihan terbaik daripada menjadi budak mereka. Oleh karena itu, kita harus bersatu dan kompak. Kita semua memiliki kekurangan, dan tidak ada yang sempurna, termasuk seorang Presiden. Kalau mencari yang sempurna, mungkin harus pergi ke surga,” ujar Luhut seperti yang dikutip pada Senin, 21 Agustus 2023.
Sementara itu, Menteri Investasi dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menyatakan bahwa program hilirisasi yang dicanangkan oleh pemerintah telah memberikan hasil yang positif. Sejak diberlakukan larangan ekspor bijih nikel pada tahun 2020, program ini telah berdampak positif pada perekonomian Indonesia.
Bahlil menjelaskan, “Sebelum program hilirisasi, ekspor nikel kita hanya mencapai 3,3 miliar dolar AS pada tahun 2017-2018. Namun, setelah larangan ekspor diberlakukan dan program hilirisasi dimulai, pada tahun 2022 ekspor nikel hampir mencapai 30 miliar dolar AS, naik sepuluh kali lipat.”
Tantangan dan Komitmen Kuat: Program Hilirisasi di Tengah Polemik Global
Selain itu, dari segi neraca perdagangan, terjadi perbaikan signifikan. Selama 25 bulan berturut-turut, Indonesia selalu mencatat surplus perdagangan, terutama dengan China yang merupakan mitra dagang utama. Pada tahun 2018, neraca perdagangan Indonesia dengan China mengalami defisit sebesar 18,4 miliar dolar AS.
Namun, dengan penerapan program hilirisasi, defisit neraca perdagangan Indonesia dengan China turun menjadi 1,6 miliar dolar AS pada tahun 2022, bahkan berubah menjadi surplus sebesar 1,2 miliar dolar AS pada kuartal pertama tahun 2023.
Bahlil menjelaskan, “Hal ini terjadi karena program hilirisasi telah mendorong ekspor Indonesia untuk tidak lagi hanya berfokus pada komoditas mentah, tetapi juga produk setengah jadi dan barang jadi.”
Bahlil juga mengakui bahwa penerimaan negara dari pajak ekspor komoditas mengalami penurunan setelah larangan ekspor diterapkan. Namun, dengan pelaksanaan program hilirisasi, pemerintah berhasil meningkatkan pendapatan dari pajak penghasilan badan, pajak pertambahan nilai (PPN), serta pajak penghasilan pasal 21 dari tenaga kerja. Selain itu, program ini juga menciptakan lapangan pekerjaan yang lebih banyak.
Kementerian Investasi mencatat bahwa sejak diberlakukan program hilirisasi, pertumbuhan penciptaan tenaga kerja rata-rata dalam sektor hilirisasi mencapai 26,9% setiap tahun dalam empat tahun terakhir.
Selain itu, dari segi pendapatan negara, target pendapatan telah tercapai dalam dua tahun terakhir. Pada tahun 2021, pendapatan negara mencapai 2.003,1 triliun rupiah atau 114,9% dari target, dan pada tahun 2022, mencapai 2.626,4 triliun rupiah atau 115,9% dari target.
Bahlil menegaskan, “Penilaian terhadap pencapaian pendapatan negara bukanlah tugas IMF, tetapi adalah tanggung jawab kita, pemerintah Republik Indonesia.”
Saat ini, kebijakan hilirisasi industri yang diperjuangkan oleh pemerintahan Jokowi menghadapi tantangan serius. Selain digugat di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) oleh Uni Eropa, IMF juga menyarankan pemerintah Indonesia untuk tidak memperluas kebijakan larangan ekspor mineral mentah, terutama nikel, dalam rangka program hilirisasi.
IMF menginginkan agar Presiden Jokowi mempertimbangkan kemungkinan mengurangi pembatasan ekspor nikel dan komoditas lainnya. IMF berpendapat bahwa kebijakan larangan ekspor nikel dapat merugikan penerimaan negara, yaitu Indonesia, dan juga berdampak negatif bagi negara lain.
Permintaan ini disampaikan oleh IMF dalam laporan Konsultasi Pasal IV 2023 dengan Indonesia yang dirilis pada Minggu, 25 Juni 2023.
Selain dua isu tersebut, produk nikel Indonesia yang dihasilkan melalui program hilirisasi juga dihadapkan pada penolakan dari Amerika Serikat (AS). Produk nikel ini tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan insentif hijau yang diatur dalam Undang-Undang Pengurangan Inflasi (Inflation Reduction Act – IRA) AS.
Melalui IRA, AS berencana memberikan kredit pajak atas pembelian mobil listrik, dengan total subsidi mencapai 370 miliar dolar AS untuk teknologi energi bersih. Namun, produk mobil listrik dengan komponen nikel dari Indonesia tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan insentif ini karena Indonesia belum memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan AS.
Keberhasilan dan Tantangan Program Hilirisasi Pertambangan di Indonesia
Kebijakan hilirisasi pertambangan di Indonesia, yang digalakkan oleh pemerintahan Jokowi, telah membawa dampak positif yang signifikan. Ekspor bijih nikel yang telah dihentikan sejak 2020 telah memberikan kontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi.
Neraca perdagangan yang sebelumnya defisit, khususnya dengan China, telah berubah menjadi surplus, mengindikasikan hasil positif dari transformasi industri ini. Meskipun ada pengurangan pendapatan dari pajak ekspor komoditas, namun pendapatan dari sektor lain seperti pajak penghasilan badan, pajak pertambahan nilai (PPN), dan pajak penghasilan pasal 21 dari tenaga kerja mengalami peningkatan.
Selain itu, program hilirisasi telah menciptakan lebih banyak lapangan kerja. Meski dihadapkan pada tantangan dari Uni Eropa, IMF, dan Amerika Serikat, pemerintah Indonesia tetap berkomitmen untuk melanjutkan program hilirisasi ini sebagai langkah penting dalam mencapai status negara maju.