MEMO
Presiden Joko Widodo (Jokowi) baru saja merilis Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon (CCS). Regulasi ini menandai langkah strategis Indonesia dalam menghadapi tantangan emisi karbon global dan mencapai target Net Zero Emission 2060.
Namun, sementara pemerintah menggambarkan CCS sebagai dorongan ekonomi, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyuarakan pandangan berbeda, menyebutnya sebagai solusi palsu untuk krisis iklim. Bagaimana dampak sebenarnya dari implementasi CCS di Indonesia?
CCS Bakal Selamatkan Ekonomi atau Hancurkan Lingkungan?
Presiden Joko Widodo (Jokowi) baru-baru ini mengeluarkan regulasi terkait penangkapan dan penyimpanan karbon (carbon capture storage/ CCS). Regulasi tersebut diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 14 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon, yang resmi diterbitkan di Jakarta pada 30 Januari 2024.
Pertimbangan dari regulasi ini menyatakan bahwa untuk mencapai target kontribusi nasional dan menuju emisi bersih pada tahun 2060 atau lebih cepat, teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon memiliki peran yang signifikan dalam mengurangi emisi karbon dari kegiatan yang menghasilkan emisi tersebut.
Regulasi ini juga mengakui potensi besar Indonesia sebagai wilayah penyimpanan karbon dan sebagai lokasi potensial untuk penangkapan karbon di tingkat nasional dan regional. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan daya tarik investasi dan menciptakan nilai ekonomi dari proses bisnis penangkapan, pengangkutan, dan penyimpanan karbon.
Selain itu, regulasi juga mengatur aspek ekonomi dan skema bisnis dari CCS. Pasal 42 menetapkan bahwa penyelenggaraan CCS yang dilakukan melalui kontrak kerja sama dapat dimonetisasi dalam bentuk imbal jasa penyimpanan (storage fee) dan/atau bentuk lainnya.
Begitu pula dengan penyelenggaraan CCS berdasarkan Izin Operasi Penyimpanan yang juga dapat dimonetisasi melalui imbal jasa penyimpanan.
Pendapatan yang diperoleh kontraktor dari monetisasi ini akan tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perlakuan perpajakan pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Pemegang Izin Operasi Penyimpanan juga akan dikenakan kewajiban penerimaan negara bukan pajak (PNBP) berupa royalti yang harus dibayarkan kepada pemerintah, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Besaran kewajiban royalti dan imbal jasa penyimpanan akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri. Selanjutnya, pemerintah berencana memberikan insentif kepada kontraktor yang melaksanakan CCS, termasuk insentif perpajakan dan non perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Potensi Ekonomi vs. Realitas Lingkungan
Dalam mendukung pelaksanaan CCS, pemegang izin Eksplorasi, pemegang Izin Transportasi Karbon, dan/atau pemegang Izin Operasi Penyimpanan juga dapat menerima insentif perpajakan dan non perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penerapan teknologi CCS di Indonesia dianggap sebagai dorongan bagi perekonomian negara. Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi menyatakan kebanggaan atas kemajuan strategis dalam penerapan teknologi tersebut.
Potensi penyimpanan CO2 hingga 400-600 gigaton di Indonesia membuat negara ini menjadi pemimpin dalam industri hijau.
Pemerintah Indonesia berambisi untuk mengembangkan teknologi CCS dan membentuk titik singgah CCS di kawasan, sejalan dengan inisiatif untuk mencapai Net Zero Emission pada 2060. Inisiatif ini diharapkan tidak hanya mencakup CO2 domestik tetapi juga melibatkan kerjasama internasional.
Namun, Walhi berpendapat sebaliknya. Mereka menilai CCS sebagai solusi palsu dalam mengatasi pemanasan global dan krisis iklim di Indonesia. Fanny Tri Jambore dari Walhi menegaskan bahwa CCS/CCUS tidak lebih dari solusi palsu yang malah memperburuk dampak penggunaan bahan bakar fosil.
Fanny Tri juga merujuk pada proyeksi kegagalan proyek CCS/CCUS yang disampaikan oleh Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA). Hasil riset tersebut menunjukkan bahwa dari 13 proyek CCS/CCUS berskala besar di seluruh dunia, hanya menghasilkan 39 juta ton CO2 per tahun, jumlah yang sangat kecil dibandingkan dengan total emisi global.
Walhi menegaskan bahwa proyek CCS/CCUS tidak lagi relevan dan seharusnya tidak diterapkan, termasuk di Indonesia. Mereka juga menyoroti sikap pemerintah yang tetap melanjutkan proyek berbasis CCS/CCUS di bawah mandat Kementerian ESDM.
Menurut Walhi, tidak boleh ada lagi proyek hulu migas baru, pertambangan batu bara baru, perluasan tambang, atau pembangkit listrik tenaga batu bara baru dalam jangka waktu yang panjang.
CCS di Indonesia: Antara Ambisi Perekonomian dan Kritik Lingkungan
Meskipun pemerintah Indonesia menyuarakan optimisme terhadap potensi teknologi Penangkapan dan Penyimpanan Karbon (CCS) untuk merangsang perekonomian dan mencapai tujuan emisi bersih, Walhi menegaskan pandangan skeptis mereka.
Mereka menyoroti kegagalan proyek CCS global yang diungkap oleh riset Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) dan mendesak agar proyek CCS/CCUS tidak lagi diterapkan di Indonesia. Terlepas dari perbedaan pandangan, implementasi CCS di Indonesia menciptakan dinamika kontroversial antara aspirasi pembangunan berkelanjutan dan keprihatinan akan keberlanjutan lingkungan.