Resolusi itu kemudian dikenal sebagai motor spiritual penggerak semangat warga Surabaya dan sekitarnya untuk berjihad mempertahankan kemerdekaan dan melawan penjajah. Tindak lanjut dari resolusi ini, Kiai As’ad kemudian bergerak ke Madura, diawali dari Bangkalan, kemudian ke Sampang dan dilanjutkan ke Pamekasan hingga ke Sumenep.
Di empat kabupaten tersebut, Kiai As’ad bertemu dengan para ulama dan menyerukan resolusi jihad untuk melawan penjajah. Kiai As’ad menggerakkan ulama di Madura mengumpulkan warga untuk dilatih fisik dan rohani agar memiliki kemampuan berperang.
Saat hendak mengumpulkan massa itu, ada persoalan terkait siapa yang bakal ikut berjihad, para Kiai atau santri. Kalau memilih kiai atau ulama untuk berperang, siapa yang akan mengurusi pendidikan agama, khususnya di pesantren?
Lalu, kalau santri yang terlibat, siapa yang akan meneruskan dakwah Islam di masyarakat nantinya jika banyak santri yang gugur. Kemudian, kalau wali santri, siapa yang akan membiayai santri dalam menuntut ilmu agama? Maka pilihannya bukan pada ketiga pribadi itu. Pilihannya untuk ikut berperang adalah pada penjahat.