MEMO.CO.ID, JAKARTA – Presiden Joko Widodo atau Jokowi telah mengeluarkan kebijakan yang memungkinkan organisasi masyarakat (ormas) keagamaan untuk mengelola wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK). Kebijakan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024, yang merupakan perubahan atas PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengkritik kebijakan ini, menilai bahwa hal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, serta berpotensi memicu konflik dengan masyarakat adat.
Kontroversi Kebijakan Baru WIUPK untuk Ormas Keagamaan
Presiden Joko Widodo atau Jokowi telah memberi lampu hijau bagi organisasi masyarakat (ormas) keagamaan untuk mengelola wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK). Kebijakan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 yang merupakan perubahan atas PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menilai bahwa aturan baru ini secara substansial bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Menurut UU tersebut, WIUPK seharusnya diprioritaskan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang memenuhi syarat administrasi, teknis, dan finansial.
AMAN memperingatkan bahwa masuknya ormas keagamaan ke dalam industri pertambangan dapat memicu konflik horizontal dengan masyarakat adat. Potensi konflik ini muncul karena adanya tumpang tindih antara WIUPK yang diberikan kepada ormas dengan wilayah adat yang telah dikuasai secara turun temurun oleh masyarakat adat.
Potensi Konflik Antara Ormas dan Masyarakat Adat Mengemuka
Kebijakan baru Presiden Jokowi yang mengizinkan ormas keagamaan untuk mengelola WIUPK menuai banyak kritik, terutama dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Menurut AMAN, kebijakan ini tidak hanya bertentangan dengan peraturan yang ada tetapi juga berpotensi menimbulkan konflik horizontal dengan masyarakat adat yang wilayahnya tumpang tindih dengan WIUPK yang diberikan kepada ormas.
Selain itu, AMAN juga menyoroti ancaman kriminalisasi terhadap masyarakat adat yang bisa timbul dari kebijakan ini. UU Minerba dan UU Cipta Kerja memuat sanksi pidana bagi siapa saja yang mengganggu izin usaha pertambangan, yang berpotensi digunakan untuk menekan masyarakat adat. Kondisi ini diperparah dengan lambatnya pengesahan UU Masyarakat Adat, yang seharusnya menjadi payung hukum bagi perlindungan hak-hak konstitusional mereka.
Dengan adanya kebijakan ini, AMAN mendesak pemerintah untuk segera mencabut PP Nomor 25 Tahun 2024 dan mendorong pengesahan UU Masyarakat Adat. Mereka juga mengajak ormas keagamaan dan kelompok masyarakat sipil untuk menolak kebijakan yang dapat memecah belah masyarakat dan merusak lingkungan hidup.