Bentuk kerjasama tersebut tentunya didasari sistem saling menguntungkan.Lembaga diuntungkan dengan perolehan jumlah siswa baru yang masuk.Sedangkan bagi perantara diuntungkan karena mendapatkan fee yang sudah disepakati. ” Untuk besaran fee tergantung perolehan calon siswa baru,” terang salah satu nara sumber yang enggan namanya ditulis.
Fakta yang berkembang saat ini masih dikatakan nara sumber potensi terjadinya persaingan tidak sehat biasanya terjadi pada dua lembaga sekolah yang berada dalam satu lokasi.
” Biasanya jauh hari sebelum pendaftaran siswa baru dibuka, pihak lembaga sudah memberi tugas kepada perantara untuk mensosialisasikan tentang pemberian perlengkapan alat sekolah kepada calon wali murid secara gratis alias cuma cuma ,” tutur nara sumber juga.
Jenis perlengkapan alat sekolah yang diberikan dari masing masing lembaga lebih jauh dikatakan nara sumber berbeda dan bervariasi. ” Ada sepatu, seragam khas, seragam olah raga dan sejumlah uang semuanya diberikan gratis kepada calon siswa baru,” imbuhnya.
Menanggapi hal tersebut seperti dikatakan Sunaryo selaku anggota DPRD Nganjuk dari komisi D bahwa tindakan lembaga seperti itu tidak dibenarkan. Hal tersebut menurut dia secara tidak langsung mencoreng kewibawaan dunia pendidikan.
” Lembaga sekolah diminati masyarakat karena berbagai indikator. Bisa karena sarana prasarana belajar memadahi, SDM tenaga pendidik mumpuni termasuk prestasi sekolah serta kenyamanan lingkungan sekolah sangat menunjang,” tegasnya.
Kalau budaya suap terjadi dilembaga sekolah hanya gara gara takut tidak mendapatkan murid baru masih dikatakan Sunaryo ini sangat ironi sekali dan memalukan. ” Ini PR komisi untuk segera mendapat perhatian khusus,” ucap politisi dari PDIP ini. (adi)