NGANJUK MEMO.CO.ID.Pasca diberlakukanya ketetapan Upah Minimum Kabupaten / Kota ( UMK ) melalui Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 68 Tahun 2015 tentang UMK di Jawa Timur Tahun 2016 tertanggal 20 November 2015 , banyak perusahaan raksasa di kota metropolitan Jawa Timur banyak memilih eksodus ke sejumlah kota kecil termasuk Kabupaten Nganjuk .
Dari puluhan industri yang masuk di kota angin Nganjuk sejak tahun 2015 silam didominasi berasal dari kota – kota besar seperti Surabaya , Sidoarjo , Pasuruan dan Mojokerto . Pemindahan industri itu bukan tanpa alasan. Yang pasti karena tingginya standar UMK sehingga pihak perusahaan merasa tidak mampu lagi menggaji karyawan.
Sesuai dengan Pergub , UMK tertinggi ada di lima Kabupaten / Kota . Yaitu Kota Surabaya yaitu sebesar Rp 3.045.000, diikuti Kabupaten Gresik Rp 3.042.500, Kabupaten Sidoarjo Rp 3.040.000, Kabupaten Pasuruan Rp 3.037.500, serta Kabupaten Mojokerto Rp 3.030.000.Sementara sisanya dari 38 Kabupaten / Kota di Jawa Timur masuk katagori UMK nilai terendah termasuk Kabupaten Nganjuk yaitu sebesar Rp 1.283.000.
Dari persoalan itu , terhitung sejak dua tahun terakhir ini lonjakan jumlah industri yang berduyun -duyun masuk ke Kabupaten Nganjuk mengalami kenaikan pesat .Terbukti sudah ribuan hektar area pertanian di wilayah perkotaan dan pedesaan sudah berganti fungsi menjadi area industri.
Ironisnya, bersamaan dengan menjamurnya pabrik , sejauh ini Pemkab Nganjuk belum ada upaya antisipasi pengelolaan limbah yang terpadu untuk mencegah adanya dampak pencemaran lingkungan . Plt Kepala Kantor Lingkungan Hidup (KLH) Pemkab Nganjuk, Totok Prastowo saat dikonfermasi wartawan Duta Masyarakat mengaku tidak akan bisa bekerja optimal untuk mengawasi dan pemeriksaan limbah karena alasan keterbatasan petugas lapang . Dia mengaku petugas lapang yang ada di kantornya hanya ada empat orang . “Jumlah petugas pemeriksa yang dimiliki KLH memang sangat kurang. Hanya ada empat petugas saja,” terang Pelaksana tugas (Plt) Kepala KLH Nganjuk, Totok Prastowo.