Konflik berkepanjangan antara Palestina dan Israel telah menyisakan banyak pertanyaan, terutama terkait partisipasi warga Muslim Arab-Israel sebagai tentara Israel. Ribuan orang dari komunitas Muslim yang mayoritas di Israel telah bergabung dengan militer dan kepolisian Israel secara sukarela, meskipun hal ini berkontradiksi dengan dukungan mayoritas Muslim dan negara Arab terhadap kemerdekaan Palestina. Lantas, apa yang mendorong mereka untuk mengambil langkah kontroversial ini?
Data Menyajikan Fakta Kontroversial Rekrutmen Tentara Israel dari Warga Muslim Arab-Israel
Permasalahan konflik yang terus berlanjut antara Palestina dan Israel terus menjadi momok yang sulit diatasi. Konflik ini terkait erat dengan dominasi Yahudi di wilayah Israel dan mayoritas Muslim di wilayah Palestina. Namun, ada hal yang mengejutkan dan sulit diterima bagi banyak orang: ada ribuan warga Muslim yang menjadi tentara Israel dan memerangi Palestina.
Beberapa dekade yang lalu, hampir tidak ada warga Arab-Israel yang memilih karir di militer. Namun, fakta saat ini menyajikan kenyataan yang berbeda, di mana mayoritas Muslim justru berbondong-bondong mendaftar menjadi tentara Israel.
Data resmi yang dihimpun oleh IDF pada tahun 2020 mencatat bahwa ada 606 orang Arab-Muslim yang bergabung dengan militer Israel. Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya, di mana pada tahun 2019 ada 489 orang dan tahun 2018 ada 436 orang yang mendaftar.
Laporan khusus dari Al Majalla berjudul “Exclusive: IDF – ‘Our Mission is to Enlist as Many Israeli Arabs as we can'” (2022), mengungkapkan bahwa IDF berhasil merekrut 130-350 suku Badui yang mayoritas Muslim dan 40-100 tentara dari desa-desa dan kota berpenduduk mayoritas Muslim. Bahkan di sektor kepolisian, 20% dari pendaftar pada tahun 2021 adalah orang Muslim.
Bahkan, pada tahun 2016, BBC melaporkan bahwa jumlah tentara dari komunitas Arab-Israel yang bergabung membuat IDF membentuk tim bernama Gadsar. Tim ini terdiri dari sekitar 500 prajurit keturunan Arab, baik yang beragama Islam atau Kristen, dan mereka bertugas di kawasan Tepi Barat yang menjadi salah satu titik panas konflik Israel-Palestina.
Meskipun pemerintah Israel tidak mewajibkan komunitas Arab-Israel dan Badui untuk ikut wajib militer, mereka tetap membuka pintu bagi yang ingin bergabung. Hal ini membuat pendaftaran menjadi tentara Israel menjadi pilihan sukarela tanpa paksaan.
Keputusan warga Muslim yang menjadi tentara Israel ini tentu menimbulkan kontroversi dan kritik dari rekan satu komunitas mereka. Pasalnya, hal ini berkontradiksi dengan perjuangan mayoritas Muslim dan negara-negara Arab yang mendukung kedaulatan Palestina. Dengan menjadi tentara Israel, secara tidak langsung mereka dapat mematahkan perjuangan Palestina dan menjadi bagian dari upaya militer Israel yang bisa menimbulkan dampak bagi penduduk Palestina.
Dibalik Keputusan Sulit: Kesejahteraan vs. Solidaritas Palestina
Namun, bagi sebagian warga Arab-Israel, keputusan ini dapat dimaklumi karena mereka melihatnya sebagai jalan untuk mencapai kesejahteraan. Kehidupan di Israel seringkali diwarnai dengan ketidaksetaraan ekonomi yang menyebabkan tingginya tingkat kemiskinan dan pengangguran di kalangan mereka.
Menurut penelitian terbaru oleh Ensherah Khory dan Michal Krumer-Nevo berjudul “Poverty in Arab-Palestinian society in Israel: Social work perspectives before and during COVID-19” (2023), sekitar 45,3% keluarga dan 57,8% anak-anak dari komunitas Arab-Palestina berada di bawah garis kemiskinan.
Dalam situasi sulit seperti ini, wajar jika sebagian dari mereka mencari pekerjaan yang dapat memberikan kesejahteraan, dan tentara menjadi salah satu pilihan. Pemerintah Israel juga berusaha merekrut tentara dengan menjanjikan berbagai kemudahan dan kesetaraan.
Dalam riset yang dilakukan oleh peneliti dari University of Pennsylvania, Miriam Minsk, berjudul “Saluted for Service: Benefits of Arab-Israeli Enlistment in the Israel Defense Forces” (Journal on Jewish Thought, Jewish Culture, and Israel, 2020), IDF memberikan peluang kerja lebih luas bagi orang Arab setelah selesai menjalani wajib militer. Pemerintah berusaha memposisikan mereka agar dapat sukses di masa depan, meskipun tetap berada dalam dunia militer.
Meskipun perekrutan ini terkesan positif karena upaya untuk mengintegrasikan warga Arab ke dalam masyarakat Israel dan memberikan kesejahteraan, namun anggota parlemen Hanin Zoabie kepada Al Majalla menolak alasan ini. Menurut Hanin, sikap baik ini bertujuan untuk memecah belah komunitas Arab-Israel, karena kehadiran anggota keluarga yang menjadi tentara dapat menyebabkan perpecahan dalam satu lingkungan.
Menjadi individu dalam komunitas Arab-Israel memang sulit, dan hanya ada dua pilihan: bertahan di tengah situasi diskriminasi atau mengabdi pada pemerintah untuk mencari kesejahteraan dengan risiko diberi predikat pengkhianat. Pilihan ini tidaklah mudah dan memiliki konsekuensi besar bagi mereka yang memutuskannya.
Rekrutmen Tentara Israel dari Warga Muslim Arab-Israel: Kontroversi dan Pilihan Sulit dalam Mencari Kesejahteraan
Pemerintah Israel berusaha memposisikan anggota Arab-Israel yang telah selesai wajib militer agar dapat sukses di masa depan, meskipun tetap berada dalam dunia militer. Hal ini dianggap sebagai langkah positif untuk mengintegrasikan warga Arab ke dalam masyarakat Israel dan meningkatkan kesejahteraan mereka.
Namun, kritik juga menyuarakan keprihatinan bahwa rekrutmen ini dapat menyebabkan perpecahan dalam komunitas dan menyulitkan hubungan antara anggota keluarga dan tetangga.
Jadi, rekrutmen tentara Israel dari warga Muslim Arab-Israel adalah fenomena kompleks yang memunculkan perdebatan dan kontroversi. Keputusan ini menunjukkan perjuangan individu dalam menghadapi situasi sosio-politik yang sulit, namun juga menimbulkan pertanyaan tentang solidaritas dan akibatnya terhadap upaya perdamaian antara Israel dan Palestina.