Example floating
Example floating
Home

Gugatan Sensasional Rp1,2 Triliun Karen Agustiawan vs PwC Indonesia!

Avatar
×

Gugatan Sensasional Rp1,2 Triliun Karen Agustiawan vs PwC Indonesia!

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

MEMO

Gugatan senilai Rp1,2 triliun terhadap perusahaan akuntan PwC Indonesia terkait kasus impor LNG oleh mantan Direktur Utama Pertamina, Galaila Karen Kardinah atau Karen Agustiawan, telah diurus ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Kasus yang berkaitan dengan laporan investigasi bisnis LNG ini menjadi sorotan, seiring Karen juga tersandung dalam kasus korupsi pengadaan LNG di Pertamina. Simak detail gugatan, tuntutan, dan implikasi hukumnya di sini.

Rincian Gugatan Besar Mantan Dirut Pertamina Terkait Kasus Impor LNG

Direktur Utama Pertamina pada periode 2009-2014, Galaila Karen Kardinah alias Karen Agustiawan, telah mengajukan tuntutan senilai Rp1,2 triliun terkait kasus impor LNG yang melibatkan perusahaan akuntan PwC Indonesia.

Pada hari Rabu (29/10), Karen, bersama dengan Hari Karyuliarto dan Djohardi Angga Kusumah, mendaftarkan gugatan terhadap PT PricewaterhouseCoopers Consulting Indonesia di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Juru Bicara Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Djuyamto, mengonfirmasi bahwa sidang pertama akan dilaksanakan pada tanggal 12 Desember. Gugatan tersebut secara resmi terdaftar di pengadilan, sesuai informasi yang diberikan kepada CNNIndonesia.com pada Selasa (5/12).

Dalam permintaan gugatan yang disampaikan melalui Djuyamto, Karen menyatakan bahwa PwC, sebagai pihak yang digugat, bertanggung jawab secara hukum terkait laporan investigasi terhadap manajemen bisnis LNG.

Karen dan Hari meminta pengadilan untuk memerintahkan PwC membayar kerugian materiil sebesar Rp12,09 miliar kepada mereka. Tak hanya itu, Karen juga menuntut ganti rugi imateriil sebesar US$78 juta atau setara dengan Rp1,21 triliun.

Petitum gugatan tersebut menegaskan bahwa laporan investigasi terkait manajemen portofolio LNG Pertamina yang disusun oleh tergugat pada 23 Desember 2020 dianggap batal dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

Karen Cs menuntut agar kerugian imateriil sebesar US$78 juta atau setara dengan Rp1.216.800.000.000 diakui dan dibayar.

Mereka menuntut agar perusahaan akuntan ini membayar gugatan tersebut secara tunai dan sekaligus. Jika PwC menolak, maka dikenakan denda sebesar Rp10 juta per hari untuk setiap keterlambatan pembayaran.

Baca Juga  DPRD Kota Blitar Gelar Paripurna Serah Terima Jabatan Wali Kota dan Wakil Wali Kota

Selain tuntutan tersebut, Karen juga meminta agar pengadilan memerintahkan PwC untuk menyampaikan permohonan maaf kepadanya dan rekan kerjanya yang akan dimuat di surat kabar atau media nasional.

Karen menekankan bahwa permohonan maaf tersebut harus dilakukan dalam waktu tiga hari berturut-turut, maksimal tiga hari setelah putusan perkara ini berkekuatan hukum tetap.

Tuntutan Materiil dan Imateriil, Implikasi Karen Agustiawan pada PwC Indonesia

Petitum gugatan Karen juga menyinggung mengenai sita jaminan terhadap harta bergerak milik tergugat yang terletak di Gedung World Trade Center (WTC) 3 Jalan Jenderal Sudirman Kav. 29-31, Karet Semanggi, Setiabudi, Jakarta Selatan, atau di tempat lain.

CNNIndonesia.com telah mencoba menghubungi Kantor PwC Indonesia di Jakarta melalui nomor telepon yang tercantum di situs resmi perusahaan. Namun, operator yang mengangkat telepon tidak dapat memberikan informasi terkait perwakilan PwC Indonesia yang dapat merespons atau mengklarifikasi gugatan ini.

Karen terlibat dalam kasus korupsi terkait pengadaan LNG di Pertamina. Ia telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam dugaan korupsi pengadaan LNG di Pertamina antara tahun 2011-2021. Karen juga telah ditahan sejak 19 November 2023 terkait kasus tersebut.

“Penetapan ini diperkuat dengan bukti permulaan yang cukup sehingga naik pada tahap penyidikan dengan menetapkan dan mengumumkan tersangka GKK alias KA (Galaila Karen Kardinah alias Karen Agustiawan),” ungkap Ketua KPK Firli Bahuri dalam konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta Selatan.

Karen, yang menjabat sebagai Dirut Pertamina pada periode 2009-2014, disebut melakukan kebijakan kerja sama dengan beberapa produsen dan supplier LNG di luar negeri, termasuk Corpus Christi Liquefaction (CCL) LLC Amerika Serikat.

Namun, diklaim bahwa Karen secara sepihak mengakhiri kontrak perjanjian jual beli LNG tersebut tanpa adanya kajian atau analisis menyeluruh, dan tidak melaporkannya kepada dewan komisaris Pertamina.

Baca Juga  Jakarta Kehausan! Waduk Karian Harus Mengalir Sebelum 2030

Firli mengungkapkan bahwa seluruh kargo LNG milik Pertamina yang dibeli dari perusahaan CCL LLC Amerika Serikat tidak terserap di pasar domestik. Akibatnya, kargo LNG tersebut mengalami kelebihan pasokan (oversupply) dan tidak pernah tiba di Indonesia.

Perbuatan Karen dinilai melanggar beberapa ketentuan, termasuk Akta Pernyataan Keputusan RUPS 1 Agustus 2012 tentang Anggaran Dasar PT Pertamina Persero dan Peraturan Menteri BUMN Nomor: Per-01/MBU/2011 tanggal 1 Agustus 2011.

Ia didakwa melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Implikasi Gugatan Karen Agustiawan terhadap PwC Indonesia: Tuntutan dan Tersandung dalam Kasus Korupsi

Gugatan senilai Rp1,2 triliun yang diajukan oleh Karen Agustiawan kepada PwC Indonesia mengenai kasus impor LNG membawa dampak besar bagi kedua belah pihak. Permintaan ganti rugi materiil sebesar Rp12,09 miliar dan imateriil senilai US$78 juta atau sekitar Rp1,21 triliun menjadi fokus utama dalam proses hukum yang sedang berjalan.

Permintaan maaf secara publik serta sita jaminan terhadap harta bergerak menjadi bagian penting dari tuntutan Karen. Di samping itu, keterlibatan Karen dalam kasus korupsi pengadaan LNG di Pertamina yang mengakibatkan penetapan sebagai tersangka oleh KPK, menambah kompleksitas dan dampak yang lebih luas terhadap kasus ini.

Karen dituduh mengakhiri kontrak perjanjian jual beli LNG tanpa proses analisis, yang secara signifikan memengaruhi pasar domestik serta melanggar beberapa ketentuan hukum terkait manajemen bisnis. Implikasi hukum dari gugatan ini menyoroti serangkaian tindakan yang memperlihatkan potensi pengaruhnya terhadap isu bisnis, hukum, dan integritas perusahaan di tingkat nasional.