“Hingga saat ini kami melihat biaya bahan bakar merupakan sumber terbesar biaya operasional dengan presentase diatas 50% kemudian disusul dengan biaya pembelian pesawat, reparasi, pembayaran asuransi yang semua dihitung menggunakan kurs dollar USD sementara produk jasa penerbangan domestiknya dijual dengan nilai rupiah,” papar Anggawira.
Tingginya ongkos operasional rupanya juga berpengaruh pada hutang Garuda Indonesia yang nilainya cukup besar. Untuk hutang jangka pendek di kuartal kedua total hutang mencapai 1,891 juta USD sedangkan hutang jangka panjang sebesar 1,163 juta USD. Sementara di kuartal sebelumnya tercatat 1,798 juta USD untuk hutang jangka pendek dan 1,174 juta USD untuk hutang jangka panjang.
“Hutang yang membelit Garuda Indonesia harus menjadi konsen pemerintah,” imbuh Anggawira.
PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk mencatat kerugian bersih (net loss) selama semester pertama 2017 sebesar US$ 283,8 juta. Di luar non-recurring expense, total kerugian bersih perseroan mencapai US$ 138 juta.