Kediri, memo.co.id
Warga Dusun Babatan, Desa Puhjarak, Kecamatan Plemahan, Kabupaten Kediri merasa resah dengan berdirinya gapura arah masuk desa dan banyak menuai protes dari warga sekitar.Pasalnya, keberadaan gapura justru melumpuhkan perekonomian masyarakat, karena distribusi bahan pangan menjadi terhalang.
Sri Estu Rahayu, salah satu pemilik usaha penggilingan padi di Dusun Babatan mengaku, sejak gapura berdiri ia tidak bisa mengirimkan hasil pertanian ke luar daerah. Truk pengangkut bahan pertanian tidak bisa masuk ke desa karena terhalang oleh gapura yang hanya berukuran setinggi 3 meter dan lebar 3 meter.
“Truk pengangkut hasil pertanian kami tidak bisa masuk karena terhalang oleh gapura portal. Sudah satu bulan terakhir ini kami tidak bisa bekerja. Tidak ada alternatif jalan lain yang bisa kami lalui,” keluhnya, Minggu 26/6/2016.
Yayuk, panggilan akrab Sri Estu Rahayu, merupakan satu dari tiga pemilik usaha penggilingan padi di Desa Puhjarak. Dia membeli hasil panen petani, kemudian memasarkan ke gudang-gudang besar di luar kota. Macetnya aktivitas distribusi pangan menyebabkan harga pertanian di desanya kini merosot.
“Jika saya tidak bisa menjual hasil pertanian ke luar kota, maka secara otomatis harganya jatuh, karena harga tidak bisa bersaing. Seperti harga jagung dan gabah, kini turun antara Rp 100-200 per kilogram. Dalam kondisi seperti ini, semua rugi, termasuk petani ikut merugi. Dan mereka menyalahkan saya,” imbuhnya.
Yayuk merasa kecewa dengan pemerintah desa setempat yang acuh tak acuhan. Dia sudah berkeluh-kesah ke desa, namun tidak ditanggapi. Padahal, sewaktu pengaspalan jalan desa, sebelum gapura berdiri, ia sempat dimintai sumbangan sebesar Rp 10 juta.
“Gudang milik saya sudah berdiri jauh sebelum gapura ada. Lalu, apa tujuan dari pembangunan gapura ini, lawong justru merugikan kami semuanya. Dulu sewaktu hendak mengaspal jalan, saya juga dimintai sumbangan Rp 10 juta. Sekarang usaha saya seolah-olah dipersulit seperti ini,” terusnya menggerutu.
Terpisah, Kepala Dusun Babatan Samsul Arifin mengaku, tidak tahu menahu perihal pendirian gapura desa tersebut. Sebab, pembangunan gapura dikerjakan oleh sejumlah anggota Badan Perwakilan Desa (BPD) dan beberapa orang warga, tanpa melibatkannya.
“Sabtu malam, beberapa orang anggota BPD dan warga datang ke rumah saya. Mereka mengaku disuruh oleh Kepala Desa, katanya ingin mengajak kerja bakti menguruk tepi jalan aspal. Lalu saya bilang, sebaiknya kerja bakti dilakukan hari Senin saja. Tetapi, mereka justru membangun gapura itu, pada Hari Minggu tanpa sepengetahuan saya,” katanya.
Karena tidak diajak musyawarah, Samsul, mengaku tidak mengetahui maksud pendirian gapura portal di desanya. Sebaliknya, dia ikut merasakan dampak negatif dari pembuat portal itu, karena kini kendaraan angkut hasil pertanian miliknya juga bernasib sama seperti milik Yayuk.
“Saya minta supaya ada alternatif jalan yang bisa dilalui. Jika memang tidak ada, tentunya saya minta supaya gapura ditiadakan,” tegas Yayuk. Dia mengancam akan melaporkan adanya upaya melumpuhkan perekonomian masyarakat itu ke instansi terkait.
Pantauan di lokasi, gapura portal tersebut terbuat dari kerangka pipa besi dan bagian pilarnya dari drum yang diisi material cor-coran. Gapura itu, kabarnya dibuat dengan tujuan menjaga agar jalan tidak cepat rusak, akibat dilalui kendaraan dengan tonase besar.(wing)