Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution (ISEAI), Ronny P Sasmita, menambahkan bahwa penerima bansos tunai tidak hanya terbatas pada masyarakat miskin yang tercatat dalam data BPS, melainkan juga mencakup kelompok rentan. Ia mengakui adanya potensi politisasi bansos dalam konteks Pilpres 2024.
Direktur Center of Economic and Law (CELIOS), Bhima Yudhistira, menyatakan bahwa pemberian bansos ini mencerminkan dukungan Jokowi terhadap Prabowo-Gibran, dengan nuansa politik yang lebih dominan daripada urgensi menyelesaikan masalah daya beli masyarakat miskin.
Bhima juga menyuarakan kekhawatiran terkait jumlah penerima bansos yang dianggap tidak wajar, yang dapat meningkatkan risiko korupsi.
Pola penyaluran bansos yang intensif sebelum pemilu bukanlah hal baru, dan Bhima merasa bahwa hal ini dapat dilihat sebagai upaya Jokowi untuk memenangkan anaknya, Gibran, dalam Pilpres 2024. Meskipun pemerintah mengklaim bahwa bansos tambahan diberikan untuk melindungi daya beli dari fluktuasi harga pangan, Bhima menilai adanya inkonsistensi dengan kebijakan impor beras saat ini.
Dengan demikian, pemberian bansos ini tidak hanya menjadi isu kesejahteraan masyarakat, tetapi juga menciptakan dinamika politik yang kental, dengan perdebatan terkait independensi, transparansi, dan tujuan sebenarnya dari bantuan sosial yang diberikan oleh pemerintah.
Kontroversi Bansos: Politisasi, Rentan Miskin, dan Keraguan Terhadap Kebijakan Pemerintah
Dalam konteks politik dan kesejahteraan, penerima bansos ternyata tidak hanya terbatas pada warga miskin yang terdaftar dalam data Badan Pusat Statistik (BPS). Program bansos, seperti BLT dan bantuan pangan, lebih ditujukan kepada kelompok rentan miskin, mencakup lebih dari 40 juta KPM.
Meskipun pemerintah mengklaim menggunakan data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS), pertanyaan seputar independensi dan transparansi dalam penyaluran bansos masih memunculkan keraguan. Dalam konteks politik, ada potensi politisasi bansos sebagai alat pengaruh pada Pilpres 2024.
Dengan dinamika ini, kebijakan bansos tampaknya lebih didorong oleh nuansa politik daripada kebutuhan mendesak untuk meningkatkan daya beli masyarakat miskin.