Example floating
Example floating
EKONOMI

Bansos Jokowi, Antara Kesejahteraan dan Politisasi Pilpres 2024

×

Bansos Jokowi, Antara Kesejahteraan dan Politisasi Pilpres 2024

Sebarkan artikel ini
Bansos Jokowi, Antara Kesejahteraan dan Politisasi Pilpres 2024
Bansos Jokowi, Antara Kesejahteraan dan Politisasi Pilpres 2024
Example 468x60

MEMO

Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan bantuan sosial (bansos) tambahan, termasuk bantuan langsung tunai (BLT) dan bantuan pangan, senilai Rp11,2 triliun untuk 18,8 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM). Namun, keputusan ini menuai kontroversi di tengah tahun politik Pilpres 2024, terutama karena putra Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, ikut dalam kontestasi.

Apakah bantuan ini benar-benar mencapai sasaran yang tepat, ataukah terkait dengan agenda politik? Penjelasan lebih lanjut ditemukan dalam analisis berikut.

Skandal Bansos! Rahasia Politik Terbongkar

Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengumumkan bantuan sosial (bansos) tambahan berupa bantuan langsung tunai (BLT) pada tahun ini, dengan alokasi dana sebesar Rp11,2 triliun untuk 18,8 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM).

Bantuan BLT ini berjumlah Rp200 ribu per bulan per KPM selama Januari, Februari, dan Maret. Namun, pencairannya akan dilakukan sekaligus pada bulan Februari, sehingga masyarakat akan menerima total Rp600 ribu.

Namun, sejumlah pihak mengkritik BLT ini, menganggapnya sebagai tindakan mendadak yang dilakukan di tengah-tengah kampanye Pilpres 2024, yang dapat menimbulkan berbagai persepsi. Khususnya karena putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, menjadi salah satu calon wakil presiden (cawapres).

Selain BLT, Jokowi juga memutuskan untuk memperpanjang penyaluran bantuan pangan berupa beras 10 kilogram (kg) untuk 22 juta KPM hingga Juni 2024, meskipun sebelumnya hanya direncanakan hingga Maret 2024.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menjelaskan bahwa penerima bansos pangan dan BLT merupakan kelompok yang berbeda. Ia menyatakan bahwa BLT diberikan kepada 18,8 juta penduduk, sedangkan bantuan pangan mencapai 22 juta KPM.

Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, berpendapat bahwa BLT dan bansos pangan merupakan program sementara, dan penerimanya tidak hanya terbatas pada warga miskin, melainkan juga kelompok rentan miskin.

Menurutnya, perbedaan jumlah penerima dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) mungkin disebabkan oleh sifat program yang menyasar kelompok rentan dan hampir miskin.

KPM Bansos, Rentan Miskin, dan Politik Pemerintah

Rendy juga menilai bahwa pemerintah mungkin menggunakan data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) dan data penerima bantuan selama pandemi COVID-19, bukan data BPS, untuk menyalurkan bansos. Meskipun demikian, ia menyoroti kurangnya kejelasan dan ketegasan pemerintah terkait independensi penyaluran bansos, terutama dalam konteks tahun politik.

Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution (ISEAI), Ronny P Sasmita, menambahkan bahwa penerima bansos tunai tidak hanya terbatas pada masyarakat miskin yang tercatat dalam data BPS, melainkan juga mencakup kelompok rentan. Ia mengakui adanya potensi politisasi bansos dalam konteks Pilpres 2024.

Direktur Center of Economic and Law (CELIOS), Bhima Yudhistira, menyatakan bahwa pemberian bansos ini mencerminkan dukungan Jokowi terhadap Prabowo-Gibran, dengan nuansa politik yang lebih dominan daripada urgensi menyelesaikan masalah daya beli masyarakat miskin.

Bhima juga menyuarakan kekhawatiran terkait jumlah penerima bansos yang dianggap tidak wajar, yang dapat meningkatkan risiko korupsi.

Pola penyaluran bansos yang intensif sebelum pemilu bukanlah hal baru, dan Bhima merasa bahwa hal ini dapat dilihat sebagai upaya Jokowi untuk memenangkan anaknya, Gibran, dalam Pilpres 2024. Meskipun pemerintah mengklaim bahwa bansos tambahan diberikan untuk melindungi daya beli dari fluktuasi harga pangan, Bhima menilai adanya inkonsistensi dengan kebijakan impor beras saat ini.

Dengan demikian, pemberian bansos ini tidak hanya menjadi isu kesejahteraan masyarakat, tetapi juga menciptakan dinamika politik yang kental, dengan perdebatan terkait independensi, transparansi, dan tujuan sebenarnya dari bantuan sosial yang diberikan oleh pemerintah.

Kontroversi Bansos: Politisasi, Rentan Miskin, dan Keraguan Terhadap Kebijakan Pemerintah

Dalam konteks politik dan kesejahteraan, penerima bansos ternyata tidak hanya terbatas pada warga miskin yang terdaftar dalam data Badan Pusat Statistik (BPS). Program bansos, seperti BLT dan bantuan pangan, lebih ditujukan kepada kelompok rentan miskin, mencakup lebih dari 40 juta KPM.

Meskipun pemerintah mengklaim menggunakan data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS), pertanyaan seputar independensi dan transparansi dalam penyaluran bansos masih memunculkan keraguan. Dalam konteks politik, ada potensi politisasi bansos sebagai alat pengaruh pada Pilpres 2024.

Dengan dinamika ini, kebijakan bansos tampaknya lebih didorong oleh nuansa politik daripada kebutuhan mendesak untuk meningkatkan daya beli masyarakat miskin.

 

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.